BILA CINTA TAK SAMPAI

BILA CINTA TAK SAMPAI
sett dekor luncur BCTS

Kamis, 15 Desember 2011

Estetika Tubuh dan Teater Eksperimental


Sastra-Indonesia.com

Posted by PuJa on September 18, 2010

Marhalim Zaini

http://www.riaupos.com/

Eksposisi tubuh manusia sebagai refleksi filosofis dari ruang-ruang pergulatan estetis, terkhusus dalam dunia seni teater, telah mencuat demikian mencolok pada beberapa dekade akhir abad ke-20. Sebagaimana yang terjadi dalam lingkungan visual keseharian kita, di mana tubuh hadir dalam citraan-citraannya yang kompleks —baik dalam posisinya sebagai kebutuhan primer maupun dalam kerangka konsepsi filosofis— demikianlah pula teater telah “mencincang” tubuh menjadi racikan”daging-daging” estetis yang beragam bentuk dan warna.

Fenomena penelanjangan tubuh manusia misalnya, sebagai sebuah ungkapan perlawanan terhadap keyakinan modernisme, terutama pada logika liniernya tentang disiplin tubuh, telah menunjukkan betapa teater modern kita telah begitu mengeksplorasi sosok tubuh, baik dalam konteks tubuh fisik yang menjelajahi tema-tema sosiologis-antropologis, maupun penggalian makna tubuh dalam kerangka filosofis-teologis, dalam hubungannya dengan dunia psikis. Keyakinan terhadap tubuh manusia sebagai proyek dalam mambangun sebuah peristiwa di atas panggung teater, telah melahirkan obsesi untuk memproduksi tubuh dalam metafora-metafora artsitik yang mendobrak batas-batas.

Untuk study kasus, Biografi Yanti Setelah 12 Menit dari Teater Sae yang dipentaskan di tahun 90-an, barangkali dapat memperjelas wacana dehistorifikasi dari identitas-identitas tubuh manusia secara kultural. Penelanjangan tubuh dalam reportoar ini, secara eksplisit menghadirkan pesan atas kenisbian batasan-batasan tubuh manusia dalam atribut sosialnya.

Bahkan lebih ekstrim, identitas kelamin dihancurkan. Sehingga yang tampak adalah tubuh-tubuh polos tanpa identitas subyek yang mencari kebenaran dalam realitas kemanusiaannya sendiri-sendiri. Atau pada reportoar Konstruksi Keterasingan (sutradara Boedi S Otong, 1983), yang memperlihatkan tubuh purba manusia “ditelanjangi” oleh besi hitam teknologi. Barangkali juga, postulat “kebenaran yang telanjang” dari metafor ketelanjangan dalam dunia seni rupa orang Yunani, dapat pula dipadankan di sini.

Lalu tengoklah juga pada produk Teater Kubur semisal Sirkus Anjing (1990) dengan tubuh-tubuh manusia sakit dalam drum-drum besi yang pengap. Atau juga pada Tombol 13, di mana identifikasi tubuh manusia di atas gelanggang teater sama posisi dan derajatnya dengan benda-benda. Sosok real tubuh begitu luluh dalam dunia citraan benda-benda, seperti kursi, tong sampah, kawat listrik, besi beton, sampah-sampah dan lain sebaginya.

Pada Teater Rendra pula, terutama pada Bip Bop, Piiieeepp, Sssttt, Rambate-rate-rata, tampak lebih menegaskan tentang posisi aktor sebagai pusat dalam peristiwa teater di atas panggung, tubuh aktor bukanlah mesin kendaraan kata-kata, melainkan tubuh dikembalikan ke dalam barisan mekanistik kemanusiaannya yang naïf menuju sebuah kesadaran akan bahaya dehumanisasi yang sedang melanda masyarakat modern.

Di manakah pula ruang bagi tubuh-tubuh manusia yang dibalut perban oleh Ray Sahetapy dalam pertunjukannya berjudul Gogil = Kau + Dia – Aku di tahun 1991. Pertunjukan yang berlangsung dalam sebuah rumah ini, sengaja melepaskan makna orientasi ruang bagi tubuh-tubuh yang rusak, tubuh yang didistorsi oleh kehidupan rutin yang kian tak berbentuk. Lalu Teater Mandiri dengan penggunaan kostum yang jauh dari kriteria bentuk tubuh manusia, adalah semacam representasi bagi remuknya tubuh oleh kekerasan demi kekerasan yang terjadi di lingkaran kehidupan manusia, yang dalam bahasanya Afrizal Malna, maksimalisasi tubuh manusia yang dipompakan sedemikian rupa, menjelaskan adanya “kegoyahan personifikasi,” di mana tokoh tidak menemukan dirinya sendiri di atas panggung.

Barangkali demikianlah kecenderungan pada kebanyakan pertunjukan teater sepanjang dekade 70 -80-an, terutama 90-an. Selain Putu Wijaya dengan Aduh atau Anu-nya, kita dapat pula mencermati Arifin C Noer dalam beberapa karyanya, lalu Teater Kail, Teater Luka, dan sejumlah teater setelahnya. Sampai sekarang, kita pun menyaksikan Rahman Sabur dengan Payung Hitam-nya membawa tubuh pada kemungkinan-kemungkinan terjauh dari bentuk artistiknya. Teater Garasi pun kemudian, dengan dua reportoar dalam proses panjang pencariannya, seperti dalam Lelaki yang Demikian Mencintai Hujan dan Waktu Batu, tampak lebih mengembangkan tubuh sebagai bahasa komunikasi yang puitis. Atau pada banyak kelompok teater modern yang hidup dalam lingkungan kampus, tubuh telah demikian menjelma menjadi media yang tak habis-habisnya digali dan dimaknai.

Di Riau, hemat saya, upaya-upaya eksplorasi atas penolakan estetika maenstream utama, yang dikerjakan oleh Suharyoto Sastro Suwignyo dengan Meta Teater-nya adalah juga terkait dengan paradigma “Teater Eksperimental” itu. Tubuh, dalam nomor-nomor pergelarannya lebih hadir sebagai “sesosok” benda-benda yang kerap berkomunikasi dengan cara dan bahasanya sendiri. Pun, setahu saya, dulu Dasri Al Mubary telah juga melakukan upaya-upaya eksplorasi tubuh sejenis. Meski terasa lebih dekat rujukannya dengan gaya Rahman Sabur atau Dindon.

Sampai di sini, tampaknya tubuh pun sedang diusung dalam lingkaran paradigma Teater Eksperimental. Namun, ketika media eksperimentasi telah demikian terfokus pada konsepsi tubuh sebagai (satu-satunya) bahasa ungkap gagasan-gagasan estetik dalam koridor maenstrem Teater Eksperimental —terlepas dari keremang-remangan istilah Teater Eksperimental secara definitif— maka sesungguhnya wilayah kreativitas menjadi terbatas. Konsepsi tubuh modern yang telah demikian hancur pemahaman atasnya, hanya akan menggiring persepsi pekerja teater pada kebuntuan-kebuntuan terminologis, sehingga berdampak pada reproduksi gagasan; mengulang-ulang sesuatu yang sesungguhnya telah selesai.

Apakah benar asumsi tentang tidak ada manusia berarti tidak ada peristiwa teater?


Ilustrasi gambar : dari adegan Tragedi Murni karya dan sutradara Sutarno SK produksi Teater Kail

Selasa, 13 Desember 2011

Kandang Macan Bagi Seniman Muda (3)

ONLINE


Rabu 27 Agustus 2008, Jam: 9:44:00

Naniel masih berusia 22 tahun ketika tiba di kompleks TIM, tahun 1972. Dia mentas di teater tertutup bersama rombongannya, Bengkel Muda Surabaya. Pentas yang tak terlupakan selama hidupnya. “Pulang dari TIM, di kampung saya jadi dewa, “ katanya yang kemudian beralih ke dunia musik, bergabung dengan Setiawan Jody dan Iwan Fals dalam Grup Swami.

Menurut pencipta lagu Bento ini, mentas di TIM jelas memberikan gengsi kepada seniman di tahun 1970-an. Kalau sudah main di TIM artinya sudah sampai ke puncak. “Apalagi buat seniman muda daerah seperti saya, “ katanya.

Sukses mentas di TIM mengantarkannya hijrah ke ibukota, dan tetap menjadi seniman sebagaimana seniornya, dulu. Dia awalnya, bergabung dengan Ggrup Leo Kristi. Namanya melesat ketika bergabung dengan WS Rendra, Iwan Fals, dan Jody. Sejumlah lagu lahir dari tangannya.

Menurut Naniel, teater sebagai seni kering yang pamornya merosot di tengah generasi sinetron. Karena itu perlu dijaga iklim kreatif dan sarananya. Pemerintah seharusnya terus menyubsidi dan mendukung material dan moral. Sebab, bibit-bibit muda teater tak pernah surut dari waktu ke waktu.

“Di Bulungan sekarang inipun teman-teman yang mengelola teater masih rajin berlatih dan grup teater masih puluhan, “ katanya.

Bom teater di tahun 1970-an melahirkan gelanggang-gelanggang di lima wilayah ibukota. Setiap wilayah memiliki grup teaternya sendiri yang kemudian berkompetisi setiap tahun dalam forum Festival Teater. Dari sanalah regenerasi teater berlangsung.

Selain Teater Koma yang melegenda hingga kini, dari TIM lahir pula grup handal lainnya seperti Teater Kubur (Dindon), Teater SAE (Budi S Otong), Teater Kail (Sutarno SK), Teater Luka (Bambang Dwi). Grup generasi pertama dan generasi kedua itulah yang mewarnai pentas di TIM pada dua dekade kemudian.

KANDANG MACAN
“Masuk TIM itu auranya beda. Buat seniman-seniman muda rasanya serem. Saya ingat, waktu itu rasanya seperti masuk kandang macan, “ kata Jose Rizal Manua, 54, anggota Bengkel Teater Rendra, yang kini memimpin Teater Tanah Air di TIM, dan mengawali masuk ke TIM tahun 1975.

“Masih kebayang sampai sekarang, di warung belakang, Mas Sjumandjaya ngobrol bareng Teguh Karya. Putu Wijaya latihan di sebelah sini, Arifin C. Noor main di sana, Bengkel Teater di sana, “ katanya menunjuk ke arah belakang Gedung Graha Balai Budaya, TIM, di sebelah toko bukunya.

Suasana berteater di TIM pada masa 1970-an, bagi seniman yang telah mentas keliling dunia, itu sangat menggairahkan. “Teman-teman latihannya semangat karena bersaing kreatifitas dan mentornya nama-nama besar, “ tambahnya.

Yang menggairahkan di TIM bukan hanya pentas teaternya, yang menampilkan karya klasik seperti Hamlet, Machbeth, King Lear, melainkan juga program pelatihan (workshop) alih pengetahuan dengan pakar seniman asing, diskusi-diskusi yang memperkaya wawasan. Semua itu biasanya berlangsung hangat di Teater Tertutup.

Jose Rizal Manua masih ingat komentar pengamat seni Singapura saat berceramah di TIM pada masa itu. “Jakarta sudah maju dua puluh tahun di dibanding kami, “ kata Joze Rizal mengulang perkataan pengamat seni dari negeri seberang itu.

Entah apa yang terjadi jika pengamat itu balik lagi dan melihat kondisi TIM sekarang ini? (Bersambung/t)

Dicopas dari Harian Pos Kota Online

Betapapun buruk, atau absurdnya, by Noorca M. Massardi

Mengapa tiada kejutan , by putu wijaya


Jumat, 11 November 2011

MASIH HAL FESTIVAL TEATER 2011


…..
Komite Teater DKJ kalau mau berpikir dan mengingat sedikit lagi saja pasti tahu bahwa Pusat Kesenian Jakarta adalah sebuah ruang publik yang sarat dengan gedung pertunjukan, dengan sendirinya yang harus mengisi gedung pertunjukan tersebut adalah kesenian pertunjukan (kesenian pertunjukan/tontonan). Nah kalau seni tontonan yang namanya teater misalnya pada acara Festival Teater Jakarta (FTJ) di usir dari rumahnya selama 39 tahun yakni TIM atau Pusat Kesenian Jakarta –TIM, bagaimana ini? Lalu siapa yang boleh mengisi gedung kesenian yang megah-megah itu ?

Sehingga lahir pertanyaan, PKJ- TIM (Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki) itu milik siapa? Milik umum/masyarakat atau milik segelintir oknum yang berlindung dan mengatasnamakan DKJ c/q (Komite Teater)? Sebaiknya pertanyaan ini diajukan kepada AJ, Akademi Jakarta, untuk lebih jelasnya, karena AJ (Akademi Jakarta) yang membentuk DKJ...

Yang pasti kalau FTJ dan kegiatan seni teater yang lain seperti pentas 7-an tiap bulan, sudah tidak boleh bermukim di PKJ-TIM, sudah pasti juga tentu saja yang boleh menggelar kesenian di sana hanya grup-grup kesenian yang mempunyai modal untuk bayar sewa gedung yang harganya puluhan juta sampai ratusan juta rupiah permalam. Lalu sekali lagi, seorang teman bertanya, sebenarnya PKJ-TIM itu punya siapa? Tentu saja kita tak bertanya pada rumput yang bergoyang.

Maka terdengar seorang yang lain berteriak, “yang memilikinya adalah Kaum Kapitalis. Mengapa para seniman seniwati tak bangkit menunjukan keberadaannya? Apakah sudah terjadi “rumahku adalah istanaku “ tak berlaku lagi di sini? Apakah sungguh – sungguh tempat ini sudah menjadi ajang Jual-Beli Seni? Padahal seni itu luwes, tapi segelintir orang membuatnya menjadi kaku!

Seorang Abdul Muthalib angkat bicara, katanya : Saya kerja di PKJ-TIM sejak 1968-1974 di masa jaya2nya TIM. Yang saya tau DKJ dan PKJ itu kesatuan. Yang merancang acara DKJ dan yang melaksanakannya PKJ. Kadangkala inisiatif datang dari PKJ, diusulkan ke DKJ, disetujui lalu kami laksanakan. Selama 5-6 tahun saya diajak oleh manajemen ikut membuat sistem dasara kerja.

Belakangan saya dengar antara DKJ dan PKJ terjadi ketidak-harmonisan. Sayang sekali hal begitu bisa terjadi. Kabarnya Dewan lebih sering mengadakan acara di luar venue TIM, mungkin karena PKJ enggan. PKJ sebaliknya juga mungkin malas melaksanakan "tugas" yang diberikan DKJ. Saudaraku Tarno, benang kusut hubungan DKJ dan PKJ itu harus diurai dulu. Sebabnya apa ? Harusnya progran semacam Festival Teater Remaja terus berjalan dan tidak terhalang oleh benang kusut DKJ-PKJ. Atau mungkin ada masalah lain ?

Bung Lily juga berkomentar, bahwa prosedural memang seperti itu, tapi dibalik semua itu kenapa terjadi pembegalan sehingga teater tujuan yang diselenggarakan DKJ juga terputus. Mungkinkah DKJ tak punya program? Atau mungkinkah DKJ sudah tulalit, bingung akan kebodohannya yang memang bukan kapasitasnya yang notabene para dewan adalah corong para group teater yang butuh apresiasi. Kalau FTJ sudah dimutasikan tidak di TIM. dewan KESENIAN jakarta jiwa raganya buat siapa? Kalau seekor Kambing sudah jelas bagi kita dengan gampang untuk memotongnya, tetapi hal ini, bagaimana?

Tetapi Bung Kemalsyah memberi solusi, katanya : Ya di musnahkan saja itu Lembaga-lembaga Kesenian Di Jakarta, Serahkan Kepada Publik, Itukan semua Gedung Publik. Mereka Hanya Menjadi Pelayan Publik, mengutip ucap Bang Ali Sadikin di tahun 2002 Setelah Musyawarah Seniman Jakarta.

Saya baru dengar sejak berdirinya DKJ baru sekarang Komite Teater nya tidak memihak kepada FTJ dan dengan tambahan pementasan teater 7-an, padahal kedua program tersebut sudah nampak dan kita rasakan bersama memberi suasana berkesenian di PKJ-TIM. Sudah tidak lagi nampak bagian belakang TIM, bagian kegelapannya di huni oleh para abg plus yang bermesum-mesuman yang dibiarkan juga oleh para karyawan TIM untuk sebagai hiburan mereka. Ini akibat dari semua lahan di PKJ-TIM itu ramai untuk kegiatan Kesenian (latihan teater), dan mereka pun para abg yang hanya mengejar nafsu tak memikirkan resikonya itu menjadi jengak, dan tak lagi ada di PKJ-TIM. Ini kan dampak positif, pokoknya banyak hal positifnya. Apakah hal ini tidak terlihat? Hal ini memang harus benar2 diperhatikan agar tidak terus kebablasan dan biasa atau menjadi kebudayaan. (meskipun sudah menjadi kebudayaan)
Hal lain yang juga menjadi catatan kawan seniman lainnya :
Yang lebih mendalam dan sangat esensial adalah mengapa Komite Teater tidak mau melibatkan teman-teman orang-orang teater lainnya, untuk mencari solusi. Main mengambil keputusan sendiri yang sangat merugikan grup-grup teater. Apa pun program komite teater DKJ yang sudah bagus itu, mungkin, program FTJ dan program pentas 7-an tidak boleh dianak tirikan apa lagi dikorbankan. Sebab pengertian PKJ-TIM sebagai laboratorium kesenian bukan hanya program riset dan pendidikan kesenian saja yang berbunyi tapi pemengtasan FTJ dan program pentas 7-an termasuk bahan studi banding bagi senimannya..

Hal ini juga dikomentari oleh teman lain, kata mereka kalau DKJ berniat pada kata PROYEK, maka mereka akan melotot pada proyek proyek yg lainnya. Jadi kalau kita melakukan dengan NIAT BAIK maka akan ada kebaikan kebaikan lainnya. Jadi yang namanya apresiasi, kontemplasi dan konsentrasi itu menjadi tidak penting bagi mereka yang memburu proyek. Akhirnya seperti timbul tudingan pernyataan lagi, bahwa DKJ, PKJ-TIM. Bukankah sudah R .I .P dimata Orang-orang Teater Idealis!

Sdr, RG dari Surabaya berkomentar bahwa, kini saatnya teater meninggalkan gedung procenium yang massif, penonton kita sudah muak dengan aturan tetek bengek di dalam gedung. Para penonton kita ingin menjadikan teater sebagai 'upacara bersama'. Jadi kenapa kita takut kehilangan gedung...?

Menanggapi RG dari Surabaya, yah, memang ada peristiwa teater yang sudah meninggalkan gedung pertunjukan, tapi saya yakin masih ada pula teater yang mesih memerlukan gedung pertunjukan. kalau meninggalkan gedung teater itu sebuah pilihan atau penyesuaian dengan ekspresinya oke-oke saja. PKJ-TIM mempunyai ruang yang luas dan dapat dimanfaatkan untuk berekspresi kesenian, di luar gedung mau pun di dalam gedung. Ini masalahnya peristiwa teater yang namanya FTJ tidak diperbolehkan pentas di PKJ-TIM di dalam gedung maupun di plazanya.. Kemudian yang sedang kita masalahkan adalah sebuah ruangan yang namanya PKJ-TIM itu katanya milik masyarakat tapi kok ada masyarakat yang sudah 30 tahunan bermukim di sana di usir.

Lily menambahkan, perasaan dan jiwa hidup hanya dimiliki oleh orang yang dapat berpikir dan mengkomonikasikan dengan hati kecilnya, kata hati ialah utama bagi kalangan teaterawan sesungguhnya. TEATER ialah pencerdasan kebenaran itu sendiri

Buat saya, jangan malu untuk meralat, segera ambil keputusan untuk mengembalikan atau memprogramkan kembali pentas 7-an dan pentas FTJ di PKJ-TIM. Alangkah indahnya dan terdengar sangat cerdas para pengayom grup teater di DKJ itu masih mau mendengarkan suara dari bawah tanah yang termajinalkan yang mungkin juga suara hati mereka. Yang sangat menyedihkan, sebagian teman tak sempat berpikir panjang sebab mereka sedang berkonsentrasi pentas, Pentas hanya pentas, pentas dimana pun jadi karena sudah berbulan-bulan latihan,. Apakah komite teater tak tersentuh oleh rasa admosfir seperti ini ? Apa memang tak merasakan?..

Mari kita cari solusinya, membantu Komite Teater agar tahu kembali posisinya berada di sana. Komite Teater DKJ bertugas menumbuhkembangkan group teater di jakarta secara kwalitas dan kwantitas serta menjadi fasilitator. Juga jelas berkerja sama dengan PKJ TIM sebagai saudaranya sejak mereka dilahirkan.

Kita masih di bawah sang saka merah putih, kita masih samasama ingin menyuburkan perteateran di Jakarta khususnya, di Indonesia pada umumnya. Iya kan??

Teater Kail

Jakarta, 11 – 11 - 11

Rabu, 09 November 2011

jelmaan

Jangan menangis andai penonton teater adalah orang2 teater juga, begitulah seandainya TEATER menjelma sebagai AGAMA. Jika TEATER ingin meluaskan ajarannya tibalah saatnya melakukan penyiaran.






Lain lagi jika menjelma sebagai dagangan, PERLU untuk MENJEJAK BUMI.







Juallah... siapa tahu ada yang mau beli teater.




jakarta indonesia
Teater Kail pada 25 Juni 2010 jam 17:53

  • Haidar Hafeez serem juga ne gak pake nangis hiks hiks
    25 Juni 2010 jam 18:11 melalui seluler ·

  • Teater Kail hahahaaha asyik asyik aja bro n sis...
    25 Juni 2010 jam 20:24 ·

  • Teater Kail kampung ini sepi dialog yah...
    25 Juni 2010 jam 20:36 ·

  • Mickay Koegh Waah , teater kail mau di jual kah ?!
    26 Juni 2010 jam 2:31 ·

  • Nani Tandjung Full wah, mana nih yang suka atau ngomel soal teater yang dihadapi? aman aja rupanya atau malas mikir malas ngomong malas nulis? atau tak menarik? oke deh..
    26 Juni 2010 jam 7:22 ·

  • 'Arrie De Marco' hihihihi...ada2 aja awak niiii....btw saya salut kerana dg tanpa malu2 masalah ini dibuka secara 'porno' semoga saja hal2 sering ber-putar2 diarena intuisi ini tidak menjadi barang dagangan di arena PKL heheheh
    27 Juni 2010 jam 9:56 ·

  • Nani Tandjung Full yoi
    27 Juni 2010 jam 10:25 ·

  • Hujan Tarigan jempol enam
    29 Juni 2010 jam 9:19 ·

  • Efvhan Fajrullah
    ‎: Assalammu'alaikum Uni..! (Sambil berdiri malu2. karena merasa ga diundang. Hihihihiiihiihiihi..) ....Numpang rembug, boleh ga...?
    Karena teater bagi saya adalah sebuah ibadah budaya (sebagaimana umat manusia memilih agama yang dianutnya, berdasarkan keyakinan masing-masing). Maka, sebagai umat yang beragama, tentu saja harus menjalankan ibadah sesuai dengan tuntunan dan keyakinan yang dianut.
    Nah, jika saya analogikan hal tersebut dengan konteks kebudayaan, yang dalam hal ini adalah teater, maka berteater adalah ibadah yang saya lakukan sebagai upaya menjalankan tuntunan dan keyakinan sebagai mahluk seni yang “berbudaya,” diusahakan melalui cara yang baik dan benar, termasuk "menjual Teater..!"
    Paling tidak dengan cara menyebarkan "virus berteater" dan "menjerumuskan orang ke jalan yg benar..". Itu saja.
    Viva Teater..! Salam Budaya..!
    Hahahahaahahaha...!
    29 Juni 2010 jam 9:42 ·

  • Teater Kail saudaraku, Efvan, maafkanlah, kau selalu hadir pada hari2 kita, mengapa berbasabasi betul, kami tahu anaknya bunda nani tandjung kan? hahahaha intinya ya sama lah, apa kau juga mau menunjukkan jempol tujuh? :))))
    29 Juni 2010 jam 19:40 ·

  • Achiem Putih teater,,,,?????
    29 Juni 2010 jam 20:20 ·

  • Uddink Studentscommunityart sebarkan lah ajaran kita....
    semoga kita semua sukses....
    29 Juni 2010 jam 23:33 ·

  • Nani Tandjung Full wah, sip 'din...
    29 Juni 2010 jam 23:38 ·

Jakarta, 09 November 2011