

29 Juli 1978

HUM-PIM-PAH Karya: Putu Wijaya Sutradara: Sutarno S.K Produksi: Teater Kail Jakarta SEBUAH teater yang baik, pada akhirnya memang harus tetap tegar sebagai sebuah teater yang bisa difahami. Betapapun buruknya -- atau absurnya. Ionesco misalnya, yang absurditasnya konon masih berdasar pada simbol, di dunia Barat, ternyata juga masih bisa difahami. Bahkan oleh anak-anak sekolah dasar -- di negerinya. Apalagi Putu Wijaya. Ia bukanlah penulis lakon yang gelap, yang karya-karyanya hanya dibuat untuk "kenikmatan diri sendiri." Sebab kalau pun di sana ada berbagai lambang, yang oleh seorang Rustandi Kartakusumah dikatakan "absurd", maka sesungguhnya ia masih tetap bisa dimengerti. Keyakinan bahwa Putu tampil dari dalam teater tradisionil, agaknya menjadi dasar Sutarno S.K. untuk mengangkat Hum-Pim-Pa/ke pentas Teater Arena TIM --pertengahan Juli yang lalu. Dengan set yang padat, Sutarno -- yang juga penata artistik -- menaruh sebatang pohon dengan tali-tali plastik sebagai daunnya. Di sampingnya sebuah kursi, tumpukan level dan sebuah drum aspal. Ini sudah pertanda baik. Tontonan Sebagai tontonan, sebagaimana terus-menerus disarankan Putu dalam berbagai pementasannya, penampilan Teater Kail kali ini sangat menarik secara fisik. Dengan kata lain bila fungsi naskah dan "isi" dikesampingkan. Sutarno nampak menjadi tak pedulian. Fungsi kata-kata, yang begitu banyak dan begitu cerewet dalam lakon-lakon Putu, nyaris hanya muncul sebagai bunyi-bunyi yang tak ada artinya. Sebagaimana bunyi ketukan bambu, pukulan drum, gebrakan level dan teriakan seluruh pemain. Memang disebut-sebut orang atau tokoh-tokoh yang bernama Korban, Dedengkot dan Pelacur. Tapi mereka ditampilkan hanya melulu sebagai lambang, bukannya sosok. Padahal, betapa pun kaburnya perwatakan peran-peran itu, ia masih tetap memiliki sesuatu yang boleh disebut karakter, jiwa pribadi, nama lambang dan juga jasmani. Mereka masih memiliki rasa sakit, nestapa, harapan, keluh kesah, keberanian, kebencian dan dendam pesimisme. Setidak-tidaknya tak hanya teriakan, suara serak dan kebisingan saja. Padahal 'Kail' yang mulai beranjak dewasa dalam pementasannya yang kedua setelah dibaptis jadi senior ini, memiliki semangat yang tinggi. Apalagi mereka begitu kompak, terutama pada setiap peranan orang banyak. Serta memiliki cukup kreasi dalam penampilan gruping dan bloking, selain kerapian tata cahaya. Itulah yang menyebabkan pertunjukan mereka tetap memiliki daya pikat sampai akhir. Seharusnya ia juga memiliki daya tangkap yang baik terhadap naskah. Terhadap "isi", bila memang hendak memunculkan fikiran-ikiran pengarangnya, bukan cuma dagingnya. Ini yang belum jadi persoalan Sutarno. Ia tidak berusaha menjadi pembaca yang sepadan. Pementasan yang begitu menggebu, begitu nekad dan begitu semangat itu, menjadi bagai kacang yang tak ada isi. Sebab terus terang saja, sebagai penonton yang belum pernah membaca naskahnya, saya tak bisa menangkap ide atau cerita apa-apa. Padahal ini penting. Sama pentingnya dengan kewajiban pemain untuk tidak hanya pandai bersuara lantang. Penampilan juga harus bisa menyampaikan 'kandungan kalimat', betapa pun verbalnya. Karena pada karya-karya Putu, verbalisme hampir-hampir sudah menjadi ciri. Pada kalimat-kalimat itulah jalan fikiran dan keresahan dituangkan. Apalagi sebuah teater yang baik pada akhirnya memang harus tetap tinggal sebuah teater yang bisa difahami. Betapapun buruknya -- atau absurdnya. Noorca M. Massardi
Ilustrasi foto :
Adegan Sang Pangeran naskah Arswendo Atmowiloto, oleh Teater Kail sutradara Sutarno SK pada Final FTRJ 1975
dicopas dari Majalah Tempo Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar