

15 Januari 1977
TATKALA Festival Teater Kemaja 1976 dibuka, ketua Dewan Kesenian Jakarta, D. Djajakusuma berpesan. "Mumpung kegiatan sudah meningkat pada tahun ke-IV, itikad pembinaan seharusnya lebih banyak kini ditukikkan ke arah mendapatkan mutu di samping kwantitas" Wajar, mengingat 3 grup versi festival yang kini telah menjadi senior akibat memenuhi persyaratan (3 kali berturut turut menang) hanya Teater Remaja Jakarta pimpinan Aldizar yang boleh diandalkan, dari segi keutuhan grup maupun prestasi pementasan. Kerepotan yang memuncak dalam babak final itu -- dilangsungkan di Teater Arena dan Teater Tertutup TIM 15 s/d 29 Desember yang lalu diikuti oleh 25 grup finalis. Dalam tingkat penyisihan tidak kurang dari 140 buah grup dari seantero Jakarta ambil bagian. Paling sedikit sekitar 2000 remaja -- sekiranya tiap grup beranggota 10-20 orang - telah disibukkan oleh kegiatan tahunan yang berharga sekitar Rp 2 juta ini. Belum lagi arus penonton yang membeli karcis seharga rata-rata Rp 200, dan mencapai jumlah sekitar 200 sampai 300 orang setiap kali.
Teater Rakyat Barangkali Komite Teater di Dewan Kesenian Jakarta adalah Komite yang paling memanfaatkan fasilitas uang subsidi dengan kegiatan-kegiatan yang dapat dinikmati oleh banyak orang. Meskipun kegetolan tersebut membuka lubang bahaya yang baru, tentang bagaimana di masa datang menyalurkan kegiatan teater manakala sudah menjadi begitu ramai. Semua grup remaja begitu binal bertanding -- untuk mendapatkan kesempatan sebagai grup yang . berhak main di TIM, Sementara TIM sendiri sudah pasti tidak akan kuat menampung mereka. Memang ada Gelanggan-gelanggang Remaja yang sebenarnya juga dapat dijadikan saluran. Soalnya hanya: betulkah pihak Gelanggang Remaja memang mempunyai kebijaksanaan yang sama luar dalam dengan pihak Dewan Kesenian Jakarta? Sampai saat ini, festival selalu dikaitkan dengan Sayembara Penulisan Lakon. 5 buah naskah pemenang sayembara tahun 1976 dilepaskan sebagai naskah wajib. Sedikit berbeda dengan suasana festival tahun-tahun sebelumnya, kompetisi kali ini kurang memperlihatkan kejutan-kejutan. Grup grup muncul dengan sangat berhati-hati, sehingga kehilangan spontanitasnya yang dahulu menjadi biang lahirnya kesegaran dan hal-hal tak terduga. Memang beberapa masalah teknis yang elementer sudah terpecahkan. Idiom-idiom penampilan yang jelas dicomot dari pementasan teater-teater senior, seperti Bengkel Teater, Teater Kecil, Teater Populer atau lainnya juga melumuri pengadeganan banyak grup. Paling tidak, tak terasa lagi adanya kesan "indo" dalam kegiatan itu. Bukan hanya karena adanya kostum, akting dan set yang menampilkan suasana lokal, tetapi karena jelas terasa semacam arus yang makin kuat berasal dari jiwa teater tradisionil dan teater rakyat.
Kail Dan Rama Dalam beberapa buah pementasan ada usaha untuk menghadirkan suasana, berkembang menjadi gambaran emosi tanpa secara tegas mengikuti pelukisan karakter. Ini seiring dengan situasi dalam penulisan naskah-naskah yang rupanya memang banyak menyabet pola-pola pertunjukan teater rakyat. Dari situ kita melihat tontonan yang riuh rendah dan kadangkala tidak jelas apa maunya, asal main gebrak saja. Memang kita jadi puyeng, seakan-akan anak-anak muda ini memang berminat menghambur-hamburkan energi. Bagi mereka yang terbiasa mengikuti pertunjukan yang bersih, jelas jalan ceritanya, jelas permainan wataknya, pertunjukan seperti dari Teater Gombong atau Teater Kartupa yang memainkan naskah Edan benar-benar membikin pusing. Dialog yang menjadi separuh kekuatan naskah hilang ludas karena vokal para pemain yang berantakan serta gerakan-gerakan yang tidak selektip.
Kalau tidak ada yang bisa didengarkan, paling sedikit ada yang dipelihara untuk dilihat seharusnya, tapi ternyata keduanya sama-sama tak diacuhkan. Hal ini menunjukkan bahwa memang belum ada landasan konsep. Sebaliknya pertunjukan Teater Simpang Tiga yang memainkan naskah Terbit Bulan Tenggelam Bulan, merangkak dengan berlarut-larut. Bukan karena tak layak pertunjukan berlangsung dalam tempo lamban. Tetapi karena kelambanan tersebut bukan merupakan bagian dari konsep, tetapi akibat tak adanya usaha untuk memberi interpretasi, seleksi dan menjaga progresi. Hal mana dapat kita lihat pada Teater Panuluh: meskipun penggarapannya belum bulat, jelas ada alur cerita yang berhasil disentuh sutradara. Demikian juga halnya Teater Rema yang berhasil menjaga keutuhan pementasan untuk naskah Bisul-Bisul, sambil secara teknis tampak bersih dan memikat. Sementara Teater Gunung Selatan di pihak lain, telah tampil dengan penafsiran yang salah, untuk naskah Hum-Pim-Pah yang seharusnya surealis -- yang diperkosa menjadi realistis sehingga hampir menyerupai drama politik. Sementara itu muncul Teater Pacheclique, memainkan naskah Terbit Bulan Tenggelam Bulan, dengan meniru pola Teater Populer, sehingga pementasannya juga terasa blasteran. Kehilangan sama sekali suasana serem dan mistik yang hendak dikemukakan Noorca Marendra, pengarang naskah itu. Brutal Itu sebagian saja dari beberapa kecenderungan yang dapat dicatat. Problem lain misalnya: suasana kanak-kanak yang menonjol dari Yunior Teater (kak Yana) yang anggotanya memang banyak anak-anak cacad-cacad elementer - yang amat mengganggap dari Teater Teri ornamen-ornamen yang berlebihan dalam Teater - Bulungan kesalahan memilih naskah untuk Sanggar Prakarya yang sebetulnya lebih cocok memilih lakon realistis ketimbang TBTB perpecahan dalam Road Teater (sutradaranya yang lama membentuk grup baru sehingga pementasan jauh mundur timbang prestasinya tahun lalu) tidak adanya ketrampilan baru seperti pada Teater Bara 76 penambahan adegan yang mengacaukan isi lakon seperti dalam Teater Kail, dan sebagainya. Hanya dua buah pementasan yang sesungguhnya boleh dianggap meningglkan kesan. Pementasan Teater Kail yang disutradarai oleh Sutarno SK dan Teater Rama dengan sutrdara: Zainal Abidin. Yang pertama menarik karena vitalitas, stamina, tata artistik serta gebrakan dari adcgan ke adegan yang kaya dengan variasi. Satu segi dari naskah Edan - kebrutalan - rupanya menjadi titik tumpu konsep. Tetapi pada bagian terakhir, sutradara tidak kuat menahan diri untuk memberi kesimpulan dan fatwa-fatwa yang justru merusakkan liang yang telah digali lakon itu sendiri untuk diselesaikan para penonton Pementasan Teater Rama dengan lakon Bisul-Bisul (Vredi Kastam Marta) menarik karena bekas-bekas tangan sutradara telah membuat pertunjukan bersih dan memikat. Ada seleksi artistik, ada proyeksi dalam dialog para pemain, ada kerja sama yang baik, kendati semua ini ditopang oleh kostum dari janur yang lebih menyerupai kostum tarian hula-hula.
Kesederhanaan dan perhatian yang merata pada semua pemain cukup cermat dalam hal bloking dan pengucapan kalimat. Finalis-finalis lainnya kendatipun cukup berhati-hati, tampak bahwa hasrat untuk menang tidak didahului oleh persiapan sungguh-sungguh. Sutradara Teater Rama muncul pula dengan grup lain bernama Teater Senam yang berhasil mengangkat naskah Ring (Wisran Hadi) menjadi segar. Sayang hanya berhenti pada kesegaran tok. Tapi masih jauh lebih bagus dari usaha Teater Sunda Kelapa yang mementaskan lakon yang sama, lengkap dengan menyalin beberapa dialognya dalam bahasa Minang tetapi gagal. Jangankan memperoleh warna lokal, kebulatan pementasannya sendiri saja tidak tercapai. Dalam segi tata artistik memang ada kemajuan. Beberapa grup berusaha menunjukkan penguasaan yang baik pada sektor penataan set, penataan lampu serta perencanaan kostum. Sayang ini tidak diimbangi dengan baik dalam permainan. Pukul rata, sebetulnya tidak ada pemain yang pantas diberi medali kali ini. Baik pria maupun wanita. Semuanya memiliki cacad-cacad elementer. Barangkali sudah waktunya untuk memikirkan, mungkin penilaian pada pemain tidak hanya tertuju pada orang per orang, sebab naskah-naskah yang ada kebanyakan menyediakan permainan kelompok. Misalnya bisa disebutkan: permainan "kelompok makan" dalam pementasan Edan Teater Kail, yang bermain dengan tangguh. Tapi perlukah itu?. Syarat Terlalu Lunak Yang menggembirakan adalah arus penonton. Di samping mereka deras datang mengisi kursi setiap hari (2 kali pertunjukan) mereka juga menunggu sampai pertunjukan usai. Kendati tak jarang mereka menunjukkan kekesalan kalau pertunjukan menjengkelkan. Benar separuhnya adalah tukang-tukang keplok yang dibawa grup masing-masing, tetapi banyak di antara mereka yang dengan rajinnya datang setiap malam. Terutama kalau grup-grup pemenang tahun lalu seperti Kail, Road, Prakarya dan Gombong main. Sayang sekali sebagian grup-grup pemenang itu tidak lagi didukung pemain-pemainnya yang lama - bahkan sutradaranya. Harus diakui sampai saat ini di tingkat remaja sutradaralah yang menjadi tokoh sentral. Kemungkinan untuk mempertahankan prestasi masih lebih besar di tangan seorang sutradara meskipun berganti-ganti anak buah, timbang di atas grup yang sama dengan sutradara yang lain.
Persyaratan dalam festival memang lebih ditujukan hanya pada berhasilnya sebuah pementasan. Untuk ini ada baiknya pihak Komite Teater DKJ mengadakan lagi penelitian. Apalagi persyaratan untuk bisa digolongkan senior hanya dengan 3 kali berturut-turut berhasil mendapat uang pembinaan, ternyata sudah terlalu lunak. Di masa-masa yang akan datang, lokakarya untuk para sutradara remaja pun menuntut perencanaan yang tepat. Arah teater anak-anak muda ini telah menampilkan kecenderungan yang menukik ke jiwa teater tradisionil yang bebas tetapi akrab. Teater sebagai tontonan, sebagai ekspresi, sebagai analisa watak dan teater sebagai sejumlah ide, semuanya akan muncul bersama-sama. Sudah waktunya pengarahan atau pembinaan disesuaikan dengan arus yang dipilih oleh masing-masing grup. Bahkan lebih lanjut sedikit kecenderungan yang berbeda-beda itu mungkin menuntut tempat pertunjukan yang berbeda-beda. Pantas diperkirakan juga, kalau suatu ketika ada lagi yang berniat membangun gedung teater, hendaknya yang terbayang bukan hanya gedung teater yang formil seperti di Teater Tertutup atau teater intim seperti Teater Arena, tetapi juga teater total yang sering dijumpai di bawah langit terbuka di Teater Halaman. Putu Wijaya
ilustrasi foto :
Adegan Dag Dig Dug naskah Putu Wijaya, oleh Teater Kail sutradara Sutarno SK Final FTR 1974
dicopas dari Majalah Tempo Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar