BILA CINTA TAK SAMPAI

BILA CINTA TAK SAMPAI
sett dekor luncur BCTS

Jumat, 16 Juli 2010

KLIPING KORAN : TEATER


http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1975/01/11/TER/mbm.19750111.TER66125.id.html


Raja mati, lunglai

TAMPAKNYA Teater Nasional Medan makin menjadi-jadi. Setelah mementaskan Aduh-nya Putu Wijaya (TEMPO, 16 Nopember 1974) pertengahan Desember tahun kemarin grup ini kembali muncul dengan Raja Mati karya Eugene lonesco. Drama ini di Indonesiakan oleh Ikranagara. Ini adalah sebuah pementasan yang panjang dan larut yang berlangsung di Auditorium RRI Nusantara III Medan, empat jam lebih. Cuma tidak jelas kenapa sang sutradara, Burhan Piliang, begitu berhiba-hiba memilih naskah semeleak ini untuk dihidangkan. Jika pun dapat diberi jawab mungkin begini: "Hal itu bukan saja telah menjadi pilihannya atau memang urusan Burhanlah yang lebih tahu!". Namun, patut juga menjadi pertimbangan, bahwa Raja Mati terlalu melelahkan bagi penonton Medan, kecuali jika diharapkan semacam daya pikat, datangnya tentu setidak-tidaknya dari kalangan tester sendiri. Itu pun, kalau ada.

Melihat karya-karya lonesco, seperti kata Guy Dumur, seorang eseis Perancis yang kurang dikenal di Indonesia memang "diperlukan sebuah kamera dalam". Dan tentu saja, karya-karya semacam ini tidaklah menjadi monopoli Racine atau seperti yang tercetus dalam Tari Maut (The Dance of Death) Strinberg. Apa yang pernah diproklamirkan Martin Esslin dengan adanya jenis teater yang bercap "absurd" yang bermain-main dengan cukup meneropong Ionesco, Beckett, Adamov, Jean Vauthier, Arrabal ditambah dengan selusin nama yang lain seperti tertera di dalam bukunya berjudul "The Theatre of Absurd" sesungguhnya kita patut berhati-hati. Toh, jenis "teater kacau" seperti itu sudah ada sejak Antonin Artaud (1896-1948).

Sekarang ini ada semacam kecenderungan, bahwa orang terlalu mudah bangga jika ia bisa mengangkat jenis teater absurd. Tetapi apa sih teater macam begitu, itu boleh saja menjadi suatu perkara lain. Mungkin ada rasa untuk tidak berpayah-payah diri melihatnya dari segi filosofis. Atau karena ada terkandung "keanehan" lalu bisa berbuat genit dan seenaknya? Sulitnya, orang-orang yang menganggap dirinya pintar memang sudah lebih dahulu buka suara. Terlepas dari fikiran-fikiran bijak itu, fantasi Ionesco dalam melihat "manusia tidaklah global". Dalam Raja Mati, Ionesco yang bertampang stir, memang mau mengejek "kebenaran", sebagai sebuah mitos. Tetapi. jangan pula diabaikan, bahwa di dalam drama ini memang ada semacam pernyataan, yaitu "realisme" Ionesco sendiri. Raja Barangze, dalam kehendaknya dan ada kekuasaan di tangannya, tetapi sebagai manusia - begitulah layaknya makhluk ini, tuan - jelas pula tak mampu membendung kelemahan-kelemahannya. Ada masa keberakhirannya. Kenapa ini dicoba untuk dimungkiri? Tentu sia-sia. Barangze memang angkuh dan egonya terlalu membengkak. Namun demikian, lidahnya yang leler dan nyaknyuk toh terpaksa menyerah dan berhiba. "Ajarkanlah kepadaku kepasrahan dan tawakal", katanya, merendah. Sensasi Baiklah. Dan apakah pokok soal cukup sampai di situ saja seperti yang kita lihat dalam pementasan Teater Nasional pada malam itu? Kemungkinan untuk mendapatkan aktor dalam pementasan ini memang besar. Mudah-mudahan keinginan tersebut, tidak menjadi semacam sensasi dan berlebih-lebihan. Burhan dan kawan-kawannya ada usaha ingin mendapatkan sebuah nuansa. Dahri Uhum yang berperan sebagai Barangze, Amran S.D. (dokter merankap, algojo) dan Yohaini Zahri sang Ratu Makhrit telah berpayah untuk meraih hal itu. Dukungan pun bukan tak ada dari Debbie Harrison (Ratu Mari), Buyung Sabren (Pengawal) serta Farida Arisah (Juliet). Dua pertiga dari pementasan ini kelihatan benar kerja sama mereka, dan rapih. Malah Dahri dan Amran masih bisa mengeluarkan kekayaannya. Kebutuhan karikatural tercuat dan cukup warna. Namun demikian hannoni ini tak bisa terus bertalian, apa lagi begitu mengganggu oleh tingkah Farida dan Debbie. Mulut Fari dan nyatanya cuma bisa memuntahkan Raris vokal bak mitraliur. Debbie, kelihatan memang lebih banyak cengengnya. Apa boleh buat. Mutu mereka masih jauh di bawah Yohaini, dan entah mengapa, sekali ini memang bisa bermain baik. Raja Mati menjelang akhir pementasan tambah lunglai. Dan cilaka dua belas. Buyung Sabren rupanya telah membikin semacam adegan tambahan. Ia seenaknya telah keluar panggung, lalu muncul kembali tanpa diketahui alasannya sehingga mengganggu adegan. Buyung berhasil menghancurkan sebuah pementasan yang sudah berpayah-payah dibangun. Raja Mati telah menutup dirinya dengan loyo. Mungkin yang tinggal di otak pendukungnya adalah selusin alasan dan apologi. Tetapi setelah melihat mereka main siapakah gerangan di antara penonton ada yang mau mendengarnya? Bergagah-gagah boleh raja karena jelas tidak ada peraturan tertulis yang menghadangnya. Ingin "hebat mendadak" tanpa suatu persiapan batin dan, dalam Raja mati tidak hanya dituntut itu - sesungguhnya hasil yang diperoleh tak lebih dari kecemplangan. Atau adakah Teater Nasional sadar telah bertindak terlalu jauh menyingkirkan peminatnya, sekali pun kita memang bukan mempersoalkan selera karena sifatnya yang selalu nisbi? Mudah-mudahan dengan Raja Mati grup dari Medan itu tidak sampai menyebarkan intrik. Toh kalau belum mampu mementaskan jenis naskah seperti itu setidak-tidaknya kemampuan pendukungnya masih sekelingking - apa gunanya memaksa diri? Sekedar beralasan "mari berusaha mencoba" boleh saja. Tetapi latar belakang di balik keinginan itu perlu pula diperhitungkan. Selamatlah untuk berloyo-lunglai dengan Raja Mati, sekali ini. Zakaria M. Passe


Majalah Berita Mingguan Tempo

11 Januari 1975
Kiriman : Odi Shalahuddin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar