
03 Juni 2010 jam 3:26
BUNGA RAMPAI MONOLOG
FESTIVAL MONOLOG TINGKAT SLTA PROPINSI BANTEN
ANYER, SENIN, 17 MEI 2010
Ah, sudahlah. Terserah mau menyebutnya apakah itu Monolog, Mono play, One man play, atau Ngomong sendiri, Main sendiri, Berperan sendiri, terserah. Atau mau beneran main sendiri, tanpa mempedulikan penonton, hingga sama sekali tak bertatapan atau mengajak respon penonton, atau masih mau ber’dialog’ dengan penonton, atau masih mau mengajak ‘manusia’ lain untuk menjadi figuran membantu pemeranan, terserah saja, tetapi kita mencoba menerima apa yang kemudian menjadi kesepakatan-kesepakatan sementara. Lho, mengapa harus memakai kata ‘sementara’? Karena gelombang ini pasti akan terjadi pasang surutnya, sesuai dengan kebutuhan penyelidikan. Lho kok memakai segala penyelidikan? Ya itulah yang menjadi salah satu obat iseng kita dalam mengisi ruang waktu. Tapi sekarang ini, kita tak akan membicarakan ‘penyelidikan’ masa lalu sekarang atau nanti. Tidak. Tidak sama sekali. Bukan itu yang akan kita kisahkan.
Waktu Senen tanggal 17 Mei 2010, saya Nani Tandjung, Harris Priadi Bah diajak Mahdiduri si Aktivis Teater Banten, bersama, menjadi juri di Festival Monolog SLTA se Propinsi Banten. ‘A’a’ Pembawa Acara dari BudPar, sebelumnya telah meminta maklum karena acara ini baru pertama kali mereka adakan jadi agak terbata-bata pelaksanaannya. Tapi ‘A’a’ tak perlu dikabari, bahwa sesering apapun melakukan kebaikan selalu saja ada kurang baiknya. Karena itu pula, layak kalau kita mencoba bekerja dengan selalu baik-baik. Acara dimulai pukul 08.00 sampai dengan pukul 17.00 waktu setempat. Tiap peserta diberi waktu per 30 (tiga puluh) menit termasuk membenahi artistik panggung.
Dengan mengambil Ruang Konfrensi di sebuah kawasan cottage tepatnya Jayakarta Cottage di pantai Anyer, peserta yang terdiri dari 2 (dua) siswa perwakilan dari 8 (delapan) kota dengan jumlah 16 (enam belas) itu berkumpul. Sebelumnya telah dikabari bahwa festival ini festival monolog. Mungkin atau rupanya, ada yang salah pemahaman, sehingga ada beberapa peserta, memang bermonolog tetapi lebih kepada menampilkan pendongeng, atau pencerita legenda setempat, yang disertai dengan gerak-gerak. Padahal, Panitia telah menawarkan 3 (tiga) naskah monolog yakni, Nyanyian Angsa Anton Chekov yang disadur menjadi naskah monolog, Dunia Dalam Koin nya Eka P Kusumah dan Sang Orator nya Bayan Sentanu.
Saya meletakkan diri sebagai wakil penonton yang boleh bicara dan menilai pertunjukan. Ya, pertunjukan. Bahwa yang akan kami hadapi adalah pementasan, teater, yang umumnya bermuat cerita dengan segala hal yang mendukung pertunjukan itu. Mencakup utamanya pemeranan, busana, rias, lampu penerangan dan pendukungan suasana, tata panggung serta ilustrasi dan effek bunyi.
Untuk sementara, bagi ‘pemula’ ini, para juri didudukkan dibagian depan sekali dekat pentas. Apa pasal? Karena harus dipahami, pengolahan vocal tak bisa sebentar untuk memberi efek sempurna buat keaktoran. Menghasilkan vocal sempurna memerlukan pelatihan bertahun-tahun dan perawatan selamanya. Jadi, jangan harap mendengar dengan baik kalau juri diletakkan di bagian belakang sekali yang paling juga hanya menangkap gerak saja, Itu harus maklum.
Sesungguhnya adalah usaha yang baik, jika diadakan secara terpisah sebuah festival mendongeng atau bercerita dengan mengambil cerita legenda milik daerah. Bentuk pelestarian dan pengenalan buat generasi mendatang. Memang makna serta ajaran yang dikandung dalam cerita itu terasa kuno, tetapi sangat mempunyai daya ‘magis’ dari kekunoannya. Apalagi bagian ini juga bisa didukung dengan ilustrasi musiknya. Sangat Indonesia dan menyatu dengan indera ketimbang dengan cerita khayali juga namun dari imajinasi dari negeri lain.. Bayangkanlah Sinderela yang memakai kain kebaya dan Lutung Kasarung memakai jas dan dasi kupu-kupu. Ini memang patut dipacu untuk dilaksanakan.
Untuk teater yang kita sebut sebagai teater modern, kita juga perlu mengembangkan. Dapat dimulai dengan keaktoran secara mono. Bermain sendiri dengan menanamkan kepercayaan atas kemampuan sendiri menghadapi masalah sendiri. Juga sebuah usaha untuk mampu mandiri. Kekuatan mengalur dan mengalir. Sedikit lebih dari apa yang dilakukan oleh para pengkotbah yakni di bagian keaktoran itu sendiri.
Kembali kepada Nyanyian Angsa Anton Chekov. Naskah ini sebenarnya bukan naskah monolog tetapi disulap oleh panitia menjadi naskah monolog. Yang bercerita tentang seorang actor tua berumur 68 (enam puluh delapan) tahun. Merindu. Bernostalgia pada suasana kejayaannya sebagai actor terkenal dan mumpuni serta sempat juga mengeluh dengan keadaan kehidupan kepribadiannya yang menyedihkan. Melarikan perasaan ini, Sang Aktor memabukkan diri dengan minuman hingga tertidur dan terjaga lagi dalam keremangan ruang yang luas. Jadi, dia berusia cukup tua, mabuk, sedih, ingin mencurahkan perasaan, menceritakan lingkungan gedung pertunjukan secara detail, sehingga nampaklah dia juga seperti penjual rumah yang menunjukkan setiap sudut ruang dengan mabuk yang artistic sesuai kebutuhan pemanggungan yang sesungguhnya sebagai tontonan. Apakah pesan yang dikandung dalam naskah ini? Ini tugas actor bersama sutradara dan seluruh pekerjanya untuk membongkar dan mewujudkan kembali untuk dipertunjukan. Lantas, rasanya perlu juga kita ketahui tentang siapa Anton Chekov, jalan pikiran serta cara berpikirnya. Adakah dia penyedih mutlak, penggembira full atau komedi tragedi? Kadang kita terjebak dalam penafsiran. Meski pada akhirnya itu dikembalikan kepada penyuguhan. Bayangkan Goreng Balado yang pedas disuguhkan dengan menawan dengan warna yang bukan warna merah cabai itu. Atau minuman jamu yang pahit disuguhkan dengan cangkir antik menggiurkan untuk diminum. Atau lebih jelas lagi whisky coca dengan sepotong es di gelas cantik, dan bakal memabukkan itu.
Pertanyaannya, apakah peserta festival kemarin itu, sudah menengok bagian ini? Ada dua orang yang melebihi yang lain, yang satu actor sudah mencoba memainkan ruang dan property tetapi kurang berkonsentrasi pada keterusan kemabukan, ketuaan, kesedihannya. Sedangkan lainnya, sudah mencoba pada kemabukan, ketuaan, kesedihan namun tak menguasai ruang. Yang ini justru nampak masih menghafal.
Dunia Dalam Koin. Sangat mudah menterjemahkan judulnya. Sama dengan Anton, kita perlu juga mencari tahu siapa Eka P Kusumah, bangsa mana Eka, tahun berapa Eka menulis naskah ini, dalam keadaan apakah Eka pada jamannya, Eka mau menceritakan apa dan berharap apa? Dunia Dalam Koin menceritakan kejenuhan pada ruang-ruang pikiran sehingga tak ada lagi yang bisa dimasukkan apalagi untuk mencerna. Kekuasan koin atau kata lain dari materi yang menjadi iming-iming manusia pada jamannya, mengakibatkan ketidaksempatan manusia berpikir tentang kebenaran, kemanusiaan, pelajaran-pelajaran baik. Harapan akhir sang pengarang sebagai penggagas awal adalah hendaknya generasi berikut mampu melepas diri dari ikatan iming-iming itu sehingga mampu memunculkan kembali prikemanusiaan di negerinya. Emosi yang tertata dalam keaktoran sederhana tapi cukup kompleks. Untungnya, pada peristiwa kemarin, peserta juara II yang enerjik itu masih bisa menawan perhatian. Tak usah dikata lagi, memang namanya pemula, yah memang harus berlatih terus dan menularkan semangatnya kepada teaterawan muda lainnya.
Dalam Sang Orator, Bayan Sentanu berharap dalam karya yang divisualkan oleh actor adalah, agar jangan cepat percaya pada situasi dan kondisi jamannya. Bahwa kalau ada demontrasi, pembelaan, atau gugatan di depan gedung-gedung pemerintah, mungkin lebih besar muatan sandiwara politiknya ketimbang kenyataan kepada kebenarannya. Dimana kebutuhan jumlah pendukung politiknya dapat dibeli dari sebuah perusahaan pelayanan jasa pengadaan tenaga demonstrasi. Perusahaan yang meladeni siapa yang lebih banyak memberikan atau membayar tinggi. Lagi-lagi, itu juga condong pada materi. Siapakah Bayan dan seterusnya juga perlu ditelusuri, selain kita mencari makna atau arti tiap kata, kalimat paragraf dalam naskah itu untuk dimainkan dengan baik. Yang kemarin, ada peserta yang mencoba menampakkan ‘kerajinannya’ berganti kostum agar tak terlalu menjemukan dalam permainan monolog yang memakan waktu sedikit itu. Ini usaha yang baik juga sebagai sebuah pertunjukan, meski agak melemahkan emosi penonton. Dengan kata lain, usahakan penggantian apa saja, perlu memperhitungkan ‘mood’ penonton agar tak menurunkan atmosfir tontonan. Kurang sedikit dari peserta ini, ada juga peserta yang bisa lebih kuat saat bermain sendiri. Dia akan mendapat nilai tambah seandainya ada juga nilai kerajinan dari pendukung pertunjukan itu. Beat, irama cukup lumayan, namun itulah, pertunjukan adalah hidangan untuk dinikmati lahir batin, yang bisa dibawa pulang sebagai kenangan atau pekerjaan rumah lainnya sebagai perenungan. Menonton yang ini, seperti masih menonton latihan saja.
Demikianlah, mengakhiri catatan ini, bahwa selain itu ada harapan keaktoran yang bermonolog ini dapat dilanjutkan dengan permainan (yang bukan main-main) secara pertunjukan bersama dengan naskah cerita yang lebih berbobot untuk disuguhkan kepada penonton sebagai santapan rohani. Sebuah pencerahan penyegaran bagi sesuatu yang tertanam dalam-dalam yang kita lupa bahwa kita sebenarnya punya ke-prikemanusiaan.
Catatan lain, menyaksikan sedemikian elitenya, dapat dimaklumi, ruang penonton tak terlalu penuh karena jarak antar kota cukup lumayan untuk biaya transportasi. Tetapi semoga kegiatan ini juga bagian dari petualangan atau piknik yang menggembirakan dan menghibur bagi calon actor pilihan hasil Festival Monolog Tingkat Kota, ke Tingkat Kabupaten hingga mencapai Tingkat Propinsi, selalu mendapat dukungan penuh dari Pemerintah Propinsi Banten. Semoga, maksud penyelenggaraan festival ini sampai kepada tujuannya. Sebuah bentuk Kebangkitan Bangsa. Amin.
keterangan gambar : nani tandjung pada monologWaktu Senen tanggal 17 Mei 2010, saya Nani Tandjung, Harris Priadi Bah diajak Mahdiduri si Aktivis Teater Banten, bersama, menjadi juri di Festival Monolog SLTA se Propinsi Banten. ‘A’a’ Pembawa Acara dari BudPar, sebelumnya telah meminta maklum karena acara ini baru pertama kali mereka adakan jadi agak terbata-bata pelaksanaannya. Tapi ‘A’a’ tak perlu dikabari, bahwa sesering apapun melakukan kebaikan selalu saja ada kurang baiknya. Karena itu pula, layak kalau kita mencoba bekerja dengan selalu baik-baik. Acara dimulai pukul 08.00 sampai dengan pukul 17.00 waktu setempat. Tiap peserta diberi waktu per 30 (tiga puluh) menit termasuk membenahi artistik panggung.
Dengan mengambil Ruang Konfrensi di sebuah kawasan cottage tepatnya Jayakarta Cottage di pantai Anyer, peserta yang terdiri dari 2 (dua) siswa perwakilan dari 8 (delapan) kota dengan jumlah 16 (enam belas) itu berkumpul. Sebelumnya telah dikabari bahwa festival ini festival monolog. Mungkin atau rupanya, ada yang salah pemahaman, sehingga ada beberapa peserta, memang bermonolog tetapi lebih kepada menampilkan pendongeng, atau pencerita legenda setempat, yang disertai dengan gerak-gerak. Padahal, Panitia telah menawarkan 3 (tiga) naskah monolog yakni, Nyanyian Angsa Anton Chekov yang disadur menjadi naskah monolog, Dunia Dalam Koin nya Eka P Kusumah dan Sang Orator nya Bayan Sentanu.
Saya meletakkan diri sebagai wakil penonton yang boleh bicara dan menilai pertunjukan. Ya, pertunjukan. Bahwa yang akan kami hadapi adalah pementasan, teater, yang umumnya bermuat cerita dengan segala hal yang mendukung pertunjukan itu. Mencakup utamanya pemeranan, busana, rias, lampu penerangan dan pendukungan suasana, tata panggung serta ilustrasi dan effek bunyi.
Untuk sementara, bagi ‘pemula’ ini, para juri didudukkan dibagian depan sekali dekat pentas. Apa pasal? Karena harus dipahami, pengolahan vocal tak bisa sebentar untuk memberi efek sempurna buat keaktoran. Menghasilkan vocal sempurna memerlukan pelatihan bertahun-tahun dan perawatan selamanya. Jadi, jangan harap mendengar dengan baik kalau juri diletakkan di bagian belakang sekali yang paling juga hanya menangkap gerak saja, Itu harus maklum.
Sesungguhnya adalah usaha yang baik, jika diadakan secara terpisah sebuah festival mendongeng atau bercerita dengan mengambil cerita legenda milik daerah. Bentuk pelestarian dan pengenalan buat generasi mendatang. Memang makna serta ajaran yang dikandung dalam cerita itu terasa kuno, tetapi sangat mempunyai daya ‘magis’ dari kekunoannya. Apalagi bagian ini juga bisa didukung dengan ilustrasi musiknya. Sangat Indonesia dan menyatu dengan indera ketimbang dengan cerita khayali juga namun dari imajinasi dari negeri lain.. Bayangkanlah Sinderela yang memakai kain kebaya dan Lutung Kasarung memakai jas dan dasi kupu-kupu. Ini memang patut dipacu untuk dilaksanakan.
Untuk teater yang kita sebut sebagai teater modern, kita juga perlu mengembangkan. Dapat dimulai dengan keaktoran secara mono. Bermain sendiri dengan menanamkan kepercayaan atas kemampuan sendiri menghadapi masalah sendiri. Juga sebuah usaha untuk mampu mandiri. Kekuatan mengalur dan mengalir. Sedikit lebih dari apa yang dilakukan oleh para pengkotbah yakni di bagian keaktoran itu sendiri.
Kembali kepada Nyanyian Angsa Anton Chekov. Naskah ini sebenarnya bukan naskah monolog tetapi disulap oleh panitia menjadi naskah monolog. Yang bercerita tentang seorang actor tua berumur 68 (enam puluh delapan) tahun. Merindu. Bernostalgia pada suasana kejayaannya sebagai actor terkenal dan mumpuni serta sempat juga mengeluh dengan keadaan kehidupan kepribadiannya yang menyedihkan. Melarikan perasaan ini, Sang Aktor memabukkan diri dengan minuman hingga tertidur dan terjaga lagi dalam keremangan ruang yang luas. Jadi, dia berusia cukup tua, mabuk, sedih, ingin mencurahkan perasaan, menceritakan lingkungan gedung pertunjukan secara detail, sehingga nampaklah dia juga seperti penjual rumah yang menunjukkan setiap sudut ruang dengan mabuk yang artistic sesuai kebutuhan pemanggungan yang sesungguhnya sebagai tontonan. Apakah pesan yang dikandung dalam naskah ini? Ini tugas actor bersama sutradara dan seluruh pekerjanya untuk membongkar dan mewujudkan kembali untuk dipertunjukan. Lantas, rasanya perlu juga kita ketahui tentang siapa Anton Chekov, jalan pikiran serta cara berpikirnya. Adakah dia penyedih mutlak, penggembira full atau komedi tragedi? Kadang kita terjebak dalam penafsiran. Meski pada akhirnya itu dikembalikan kepada penyuguhan. Bayangkan Goreng Balado yang pedas disuguhkan dengan menawan dengan warna yang bukan warna merah cabai itu. Atau minuman jamu yang pahit disuguhkan dengan cangkir antik menggiurkan untuk diminum. Atau lebih jelas lagi whisky coca dengan sepotong es di gelas cantik, dan bakal memabukkan itu.
Pertanyaannya, apakah peserta festival kemarin itu, sudah menengok bagian ini? Ada dua orang yang melebihi yang lain, yang satu actor sudah mencoba memainkan ruang dan property tetapi kurang berkonsentrasi pada keterusan kemabukan, ketuaan, kesedihannya. Sedangkan lainnya, sudah mencoba pada kemabukan, ketuaan, kesedihan namun tak menguasai ruang. Yang ini justru nampak masih menghafal.
Dunia Dalam Koin. Sangat mudah menterjemahkan judulnya. Sama dengan Anton, kita perlu juga mencari tahu siapa Eka P Kusumah, bangsa mana Eka, tahun berapa Eka menulis naskah ini, dalam keadaan apakah Eka pada jamannya, Eka mau menceritakan apa dan berharap apa? Dunia Dalam Koin menceritakan kejenuhan pada ruang-ruang pikiran sehingga tak ada lagi yang bisa dimasukkan apalagi untuk mencerna. Kekuasan koin atau kata lain dari materi yang menjadi iming-iming manusia pada jamannya, mengakibatkan ketidaksempatan manusia berpikir tentang kebenaran, kemanusiaan, pelajaran-pelajaran baik. Harapan akhir sang pengarang sebagai penggagas awal adalah hendaknya generasi berikut mampu melepas diri dari ikatan iming-iming itu sehingga mampu memunculkan kembali prikemanusiaan di negerinya. Emosi yang tertata dalam keaktoran sederhana tapi cukup kompleks. Untungnya, pada peristiwa kemarin, peserta juara II yang enerjik itu masih bisa menawan perhatian. Tak usah dikata lagi, memang namanya pemula, yah memang harus berlatih terus dan menularkan semangatnya kepada teaterawan muda lainnya.
Dalam Sang Orator, Bayan Sentanu berharap dalam karya yang divisualkan oleh actor adalah, agar jangan cepat percaya pada situasi dan kondisi jamannya. Bahwa kalau ada demontrasi, pembelaan, atau gugatan di depan gedung-gedung pemerintah, mungkin lebih besar muatan sandiwara politiknya ketimbang kenyataan kepada kebenarannya. Dimana kebutuhan jumlah pendukung politiknya dapat dibeli dari sebuah perusahaan pelayanan jasa pengadaan tenaga demonstrasi. Perusahaan yang meladeni siapa yang lebih banyak memberikan atau membayar tinggi. Lagi-lagi, itu juga condong pada materi. Siapakah Bayan dan seterusnya juga perlu ditelusuri, selain kita mencari makna atau arti tiap kata, kalimat paragraf dalam naskah itu untuk dimainkan dengan baik. Yang kemarin, ada peserta yang mencoba menampakkan ‘kerajinannya’ berganti kostum agar tak terlalu menjemukan dalam permainan monolog yang memakan waktu sedikit itu. Ini usaha yang baik juga sebagai sebuah pertunjukan, meski agak melemahkan emosi penonton. Dengan kata lain, usahakan penggantian apa saja, perlu memperhitungkan ‘mood’ penonton agar tak menurunkan atmosfir tontonan. Kurang sedikit dari peserta ini, ada juga peserta yang bisa lebih kuat saat bermain sendiri. Dia akan mendapat nilai tambah seandainya ada juga nilai kerajinan dari pendukung pertunjukan itu. Beat, irama cukup lumayan, namun itulah, pertunjukan adalah hidangan untuk dinikmati lahir batin, yang bisa dibawa pulang sebagai kenangan atau pekerjaan rumah lainnya sebagai perenungan. Menonton yang ini, seperti masih menonton latihan saja.
Demikianlah, mengakhiri catatan ini, bahwa selain itu ada harapan keaktoran yang bermonolog ini dapat dilanjutkan dengan permainan (yang bukan main-main) secara pertunjukan bersama dengan naskah cerita yang lebih berbobot untuk disuguhkan kepada penonton sebagai santapan rohani. Sebuah pencerahan penyegaran bagi sesuatu yang tertanam dalam-dalam yang kita lupa bahwa kita sebenarnya punya ke-prikemanusiaan.
Catatan lain, menyaksikan sedemikian elitenya, dapat dimaklumi, ruang penonton tak terlalu penuh karena jarak antar kota cukup lumayan untuk biaya transportasi. Tetapi semoga kegiatan ini juga bagian dari petualangan atau piknik yang menggembirakan dan menghibur bagi calon actor pilihan hasil Festival Monolog Tingkat Kota, ke Tingkat Kabupaten hingga mencapai Tingkat Propinsi, selalu mendapat dukungan penuh dari Pemerintah Propinsi Banten. Semoga, maksud penyelenggaraan festival ini sampai kepada tujuannya. Sebuah bentuk Kebangkitan Bangsa. Amin.
Jika Memang Masih Ada Cinta Di Antara Kita
Nani Tandjung, Pemonolog
Indonesia, 20 Mei 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar