Teater adalah kehidupan itu sendiri, itu adalah sebuah pemikiran. Yang bisa dijadikan sebagai profesi adalah di bidang seni teater, seperti seni seni yang lain para pelakunya bisa berhasil dari segi materi mau pun nama yang menjulang ngetop....
Teater sebagai kehidupan yang menampung corak ragam karakter moral manusia yang hitam mau pun yang putih, sedemikian pula adanya eksistensi teater itu sendiri hanya sebuah media yang tidak menjanjikan dan menuntut apa-apa. Terserah manusianya mau mengabdi atau menghianatinya.
Seni teater dengan seabrek ilmu, berdampak positif bagi si penggiat yang mempunyai pemikiran positif, dan bisa berdampak negatif bagi penggiat yang berpikiran negatif.
Satu hal lagi bahwa hanya seni teater yang mempunyai unsur oto kritik didalamnya. Keritikan yang hadir dari seni teater bagi sang penggiat teater itu sendiri. Jadi, kalau ada penggiat teater yang frustasi karena merasa tidak mendapatkan apa-apa bahkan materi dari berteternya, yang salah adalah sang penggiat itu sendiri.
Cobalah, sebab sesungguhnya seni teater syarat dengan ilmu.. Biasanya yang namanya ilma adalah "sesuatu", sebuah jalan, bisa di jual dan akan menghasilkan uang atau materi duniawi, kalau sang empunya ilma tersebut mengerti dan bisa tahu kemana menjualnya. Kapada teman-teman penggiat seni teater, ada latihan khusus untuk kita tidak frustasi dan stres didalam mengerjakan kesenian teater.
Catatan saya, sekali lagi, kegiatan apa saja tak pernah menjanjikan apa-apa kepada penggiatnya.. Sang penggiatnya lah, senimannya lah, sang kreator itu sendirilah yang harus pandai menjual kemana karyanya itu di jual, kalau kita butuh uang.. Maaf ini bukan menggurui, ini sebuah pengalaman nyata yang saya dapatkan dari pergelutan saya selama 39 tahun di dalam dunia teater..
Satu cara, untuk memancing pemikiran kita agar lebih maju ke depan. Terima kasih.
Pernah satu saat guru teaterku memboncengi aku dari jalan Pramuka menuju Senen Raya 73, dimana kami berkantor. Saat meliwati gedung perpustakaan nasional yang di halaman parkirnya berdiri tegak tiang bendera dan berkibar pula sangsaka merah putih dengan megah di pucuknya, nyeletuklah dia padaku dengan menghentikan vespanya ke tepi jalan raya Salemba itu, untuk menatap bendera.. "..Coba lihat bendera itu, apa kata dan kesan mata imajinasimu ?.." aku terdiam lama sambil berpikir keras, kemudian aku pun menjawab pertanyaan sang guru. "..Bendera itu sedang diam membisu.. tapi bila tertiup angin dia akan bergerak mengibarkan tubuhnya..",jawabku. Lalu dengan santai dia menstater vespanya melaju kembali menuju arah Senen Raya, sambil bertanya padaku dengan nada kesal dan kecewa.. ".. tak kau lihat di sana ada darah, tak kau lihat di sana ada nyawa beribu bahkan berjuta sebagai korban kemegahannya? Tak kau lihat pula di sana banyak kujujuran, keiklasan yang telah dipersembahkan? Atau sebaliknya tak kau lihat di sana ada kebobrokan, penghianatan, atau para tengkulak perjuangan ?.. " masih banyak letupan kata yang keluar dari mulutnya seperti senapan mesin. Dengan nada yang semakin meninggi dan marah sekali dia melanjutkan celotehnya. Dan aku pun terdiam kaku karena seluruh tubuhku mengeluarkan keringat dingin, malu, tersinggung serta bermacam rasa bercampur aduk pada saat itu..
" Kamu tahu, disini lah saya menjadi paham bahwa selama ini kamu telah menipu dirimu sendiri di dalam setiap latihan dasar teater yang kita lakukan bersama. Maka bersiaplah kamu akan menjadi pembohong besar untuk dirimu sendiri. Sebab, kau tak pernah serius mengerahkan semua indramu untuk menerima pelajaran dasar teater yang saya berikan. Kalau mau menjadi pembohong tak perlu latihan teater. Artinya, perkembangan daya rasa dan daya nalarmu lamban sekali untuk menangkap sesuatu di balik kenyataan , yang tersirat atau yang berada di dalamnya, sekali lagi tangkap dalamnya Tarno!. Jangan kau kalah, pasrah, atau menyerah dengan ketidak tahuan dan Kebodohan!."
Sepanjang jalan aku hanya bisa terdiam karena mulutku seperti terkunci, beku tak berdaya. Ternyata, semua teguran kerasnya terhadapku itu di-iyakan oleh pikiran dan perasaanku. Tak lama pun kami sampai di depan kantor , aku turun dari boncengan. Selesai guruku memarkir vespanya, dia menepuk pundakku sambil, " ..selamat bekerja ".
Aku menuju meja kerjaku sambil tak lepas memandangi punggungnya , menghilang masuk ke ruang kerjanya.
" .. Berarti setelah kita mengetahui secara benar apa yang kita lihat secara nyata, kita harus dapat mengetahui secara benar pula apa yang berada di balik kenyataan itu sendiri. Makna dari sebuah kalimat, makna dari sebuah adegan yaitu peristiwa. Peristiwanya tangkap dan pahami. ".. Aku pun tersadar dari lamunan penganalisaan teguran sang guru setelah seseorang teman kerjaku mencolek meminjam bollpoint..
FESTIVAL MONOLOG TINGKAT SLTA PROPINSI BANTEN ANYER, SENIN, 17 MEI 2010
Ah, sudahlah. Terserah mau menyebutnya apakah itu Monolog, Mono play, One man play, atau Ngomong sendiri, Main sendiri, Berperan sendiri, terserah. Atau mau beneran main sendiri, tanpa mempedulikan penonton, hingga sama sekali tak bertatapan atau mengajak respon penonton, atau masih mau ber’dialog’ dengan penonton, atau masih mau mengajak ‘manusia’ lain untuk menjadi figuran membantu pemeranan, terserah saja, tetapi kita mencoba menerima apa yang kemudian menjadi kesepakatan-kesepakatan sementara. Lho, mengapa harus memakai kata ‘sementara’? Karena gelombang ini pasti akan terjadi pasang surutnya, sesuai dengan kebutuhan penyelidikan. Lho kok memakai segala penyelidikan? Ya itulah yang menjadi salah satu obat iseng kita dalam mengisi ruang waktu. Tapi sekarang ini, kita tak akan membicarakan ‘penyelidikan’ masa lalu sekarang atau nanti. Tidak. Tidak sama sekali. Bukan itu yang akan kita kisahkan.
Waktu Senen tanggal 17 Mei 2010, saya Nani Tandjung, Harris Priadi Bah diajak Mahdiduri si Aktivis Teater Banten, bersama, menjadi juri di Festival Monolog SLTA se Propinsi Banten. ‘A’a’ Pembawa Acara dari BudPar, sebelumnya telah meminta maklum karena acara ini baru pertama kali mereka adakan jadi agak terbata-bata pelaksanaannya. Tapi ‘A’a’ tak perlu dikabari, bahwa sesering apapun melakukan kebaikan selalu saja ada kurang baiknya. Karena itu pula, layak kalau kita mencoba bekerja dengan selalu baik-baik. Acara dimulai pukul 08.00 sampai dengan pukul 17.00 waktu setempat. Tiap peserta diberi waktu per 30 (tiga puluh) menit termasuk membenahi artistik panggung.
Dengan mengambil Ruang Konfrensi di sebuah kawasan cottage tepatnya Jayakarta Cottage di pantai Anyer, peserta yang terdiri dari 2 (dua) siswa perwakilan dari 8 (delapan) kota dengan jumlah 16 (enam belas) itu berkumpul. Sebelumnya telah dikabari bahwa festival ini festival monolog. Mungkin atau rupanya, ada yang salah pemahaman, sehingga ada beberapa peserta, memang bermonolog tetapi lebih kepada menampilkan pendongeng, atau pencerita legenda setempat, yang disertai dengan gerak-gerak. Padahal, Panitia telah menawarkan 3 (tiga) naskah monolog yakni, Nyanyian Angsa Anton Chekov yang disadur menjadi naskah monolog, Dunia Dalam Koin nya Eka P Kusumah dan Sang Orator nya Bayan Sentanu.
Saya meletakkan diri sebagai wakil penonton yang boleh bicara dan menilai pertunjukan. Ya, pertunjukan. Bahwa yang akan kami hadapi adalah pementasan, teater, yang umumnya bermuat cerita dengan segala hal yang mendukung pertunjukan itu. Mencakup utamanya pemeranan, busana, rias, lampu penerangan dan pendukungan suasana, tata panggung serta ilustrasi dan effek bunyi.
Untuk sementara, bagi ‘pemula’ ini, para juri didudukkan dibagian depan sekali dekat pentas. Apa pasal? Karena harus dipahami, pengolahan vocal tak bisa sebentar untuk memberi efek sempurna buat keaktoran. Menghasilkan vocal sempurna memerlukan pelatihan bertahun-tahun dan perawatan selamanya. Jadi, jangan harap mendengar dengan baik kalau juri diletakkan di bagian belakang sekali yang paling juga hanya menangkap gerak saja, Itu harus maklum.
Sesungguhnya adalah usaha yang baik, jika diadakan secara terpisah sebuah festival mendongeng atau bercerita dengan mengambil cerita legenda milik daerah. Bentuk pelestarian dan pengenalan buat generasi mendatang. Memang makna serta ajaran yang dikandung dalam cerita itu terasa kuno, tetapi sangat mempunyai daya ‘magis’ dari kekunoannya. Apalagi bagian ini juga bisa didukung dengan ilustrasi musiknya. Sangat Indonesia dan menyatu dengan indera ketimbang dengan cerita khayali juga namun dari imajinasi dari negeri lain.. Bayangkanlah Sinderela yang memakai kain kebaya dan Lutung Kasarung memakai jas dan dasi kupu-kupu. Ini memang patut dipacu untuk dilaksanakan.
Untuk teater yang kita sebut sebagai teater modern, kita juga perlu mengembangkan. Dapat dimulai dengan keaktoran secara mono. Bermain sendiri dengan menanamkan kepercayaan atas kemampuan sendiri menghadapi masalah sendiri. Juga sebuah usaha untuk mampu mandiri. Kekuatan mengalur dan mengalir. Sedikit lebih dari apa yang dilakukan oleh para pengkotbah yakni di bagian keaktoran itu sendiri.
Kembali kepada Nyanyian Angsa Anton Chekov. Naskah ini sebenarnya bukan naskah monolog tetapi disulap oleh panitia menjadi naskah monolog. Yang bercerita tentang seorang actor tua berumur 68 (enam puluh delapan) tahun. Merindu. Bernostalgia pada suasana kejayaannya sebagai actor terkenal dan mumpuni serta sempat juga mengeluh dengan keadaan kehidupan kepribadiannya yang menyedihkan. Melarikan perasaan ini, Sang Aktor memabukkan diri dengan minuman hingga tertidur dan terjaga lagi dalam keremangan ruang yang luas. Jadi, dia berusia cukup tua, mabuk, sedih, ingin mencurahkan perasaan, menceritakan lingkungan gedung pertunjukan secara detail, sehingga nampaklah dia juga seperti penjual rumah yang menunjukkan setiap sudut ruang dengan mabuk yang artistic sesuai kebutuhan pemanggungan yang sesungguhnya sebagai tontonan. Apakah pesan yang dikandung dalam naskah ini? Ini tugas actor bersama sutradara dan seluruh pekerjanya untuk membongkar dan mewujudkan kembali untuk dipertunjukan. Lantas, rasanya perlu juga kita ketahui tentang siapa Anton Chekov, jalan pikiran serta cara berpikirnya. Adakah dia penyedih mutlak, penggembira full atau komedi tragedi? Kadang kita terjebak dalam penafsiran. Meski pada akhirnya itu dikembalikan kepada penyuguhan. Bayangkan Goreng Balado yang pedas disuguhkan dengan menawan dengan warna yang bukan warna merah cabai itu. Atau minuman jamu yang pahit disuguhkan dengan cangkir antik menggiurkan untuk diminum. Atau lebih jelas lagi whisky coca dengan sepotong es di gelas cantik, dan bakal memabukkan itu.
Pertanyaannya, apakah peserta festival kemarin itu, sudah menengok bagian ini? Ada dua orang yang melebihi yang lain, yang satu actor sudah mencoba memainkan ruang dan property tetapi kurang berkonsentrasi pada keterusan kemabukan, ketuaan, kesedihannya. Sedangkan lainnya, sudah mencoba pada kemabukan, ketuaan, kesedihan namun tak menguasai ruang. Yang ini justru nampak masih menghafal.
Dunia Dalam Koin. Sangat mudah menterjemahkan judulnya. Sama dengan Anton, kita perlu juga mencari tahu siapa Eka P Kusumah, bangsa mana Eka, tahun berapa Eka menulis naskah ini, dalam keadaan apakah Eka pada jamannya, Eka mau menceritakan apa dan berharap apa? Dunia Dalam Koin menceritakan kejenuhan pada ruang-ruang pikiran sehingga tak ada lagi yang bisa dimasukkan apalagi untuk mencerna. Kekuasan koin atau kata lain dari materi yang menjadi iming-iming manusia pada jamannya, mengakibatkan ketidaksempatan manusia berpikir tentang kebenaran, kemanusiaan, pelajaran-pelajaran baik. Harapan akhir sang pengarang sebagai penggagas awal adalah hendaknya generasi berikut mampu melepas diri dari ikatan iming-iming itu sehingga mampu memunculkan kembali prikemanusiaan di negerinya. Emosi yang tertata dalam keaktoran sederhana tapi cukup kompleks. Untungnya, pada peristiwa kemarin, peserta juara II yang enerjik itu masih bisa menawan perhatian. Tak usah dikata lagi, memang namanya pemula, yah memang harus berlatih terus dan menularkan semangatnya kepada teaterawan muda lainnya.
Dalam Sang Orator, Bayan Sentanu berharap dalam karya yang divisualkan oleh actor adalah, agar jangan cepat percaya pada situasi dan kondisi jamannya. Bahwa kalau ada demontrasi, pembelaan, atau gugatan di depan gedung-gedung pemerintah, mungkin lebih besar muatan sandiwara politiknya ketimbang kenyataan kepada kebenarannya. Dimana kebutuhan jumlah pendukung politiknya dapat dibeli dari sebuah perusahaan pelayanan jasa pengadaan tenaga demonstrasi. Perusahaan yang meladeni siapa yang lebih banyak memberikan atau membayar tinggi. Lagi-lagi, itu juga condong pada materi. Siapakah Bayan dan seterusnya juga perlu ditelusuri, selain kita mencari makna atau arti tiap kata, kalimat paragraf dalam naskah itu untuk dimainkan dengan baik. Yang kemarin, ada peserta yang mencoba menampakkan ‘kerajinannya’ berganti kostum agar tak terlalu menjemukan dalam permainan monolog yang memakan waktu sedikit itu. Ini usaha yang baik juga sebagai sebuah pertunjukan, meski agak melemahkan emosi penonton. Dengan kata lain, usahakan penggantian apa saja, perlu memperhitungkan ‘mood’ penonton agar tak menurunkan atmosfir tontonan. Kurang sedikit dari peserta ini, ada juga peserta yang bisa lebih kuat saat bermain sendiri. Dia akan mendapat nilai tambah seandainya ada juga nilai kerajinan dari pendukung pertunjukan itu. Beat, irama cukup lumayan, namun itulah, pertunjukan adalah hidangan untuk dinikmati lahir batin, yang bisa dibawa pulang sebagai kenangan atau pekerjaan rumah lainnya sebagai perenungan. Menonton yang ini, seperti masih menonton latihan saja.
Demikianlah, mengakhiri catatan ini, bahwa selain itu ada harapan keaktoran yang bermonolog ini dapat dilanjutkan dengan permainan (yang bukan main-main) secara pertunjukan bersama dengan naskah cerita yang lebih berbobot untuk disuguhkan kepada penonton sebagai santapan rohani. Sebuah pencerahan penyegaran bagi sesuatu yang tertanam dalam-dalam yang kita lupa bahwa kita sebenarnya punya ke-prikemanusiaan.
Catatan lain, menyaksikan sedemikian elitenya, dapat dimaklumi, ruang penonton tak terlalu penuh karena jarak antar kota cukup lumayan untuk biaya transportasi. Tetapi semoga kegiatan ini juga bagian dari petualangan atau piknik yang menggembirakan dan menghibur bagi calon actor pilihan hasil Festival Monolog Tingkat Kota, ke Tingkat Kabupaten hingga mencapai Tingkat Propinsi, selalu mendapat dukungan penuh dari Pemerintah Propinsi Banten. Semoga, maksud penyelenggaraan festival ini sampai kepada tujuannya. Sebuah bentuk Kebangkitan Bangsa. Amin.
keterangan gambar : nani tandjung pada monolog Jika Memang Masih Ada Cinta Di Antara Kita
Wajar kalau yang hadir di sebuah konser musik, adalah pemusik dan penikmat musik. Dan membludak. Wajar pula yang hadir di sebuah pentas teater adalah peteater dan penikmat teater. Sayangnya di teater, yang hadir hanya peteater, sedangkan penikmat teater yang asli yang mampu dan mau membayar mahal kenikmatannya, cuma ada di satu pentas grup teater saja.
Persaingan nyaris tak ada. Mengapa era ini hanya Koma yang dikerubuti Penonton, pencatut karcis diserbu pembeli, seperti Penonton bioskop era ‘60an? Ada apa dengan Teater Bengkel, mengapa tidak semenggairahkan seperti di tahun 70-80an yang dengan yakin menjual karcis dengan harga tinggi. Ada apa juga dengan grup Teater yang lain? Mengapa yang jumlahnya lebih banyak itu tidak punya Penonton setia. Mengapa Penonton suka mendului memprediksi teater yang sedang dipublikasikan akan pentas itu dengan cemooh dan langsung menjadi malas, padahal belum ditonton. Mengapa pula ada Penonton mencemooh seperti tidak puas seusai menonton persis seperti sehabis makan bakso yang kurang rasa. Ini bicara pertunjukan teater panggung. Teater! Live!
Terpancing tanya-jawab yang basi, apakah yang terjadi dengan seni teater itu, yang di sana ada Tontonan dan Penonton serta penghubung dari keduanya. Budi daya apa yang sedang berlangsung hingga jadi peristiwa yang menyulitkan? Apakah Tontonan yang dimasak seniman itu sudah tak sedap? Atau Penonton sedang sakit atau tak sehat, tidak berselera, hingga apa saja yang dikunyah sudah tak nikmat? Lalu, apa yang bisa dilakukan untuk sama-sama bergairah?
Padahal para tokoh-tokoh teater yang merasa bertanggung jawab atas kehidupan seni teater di negeri ini terus bekerja keras. Dari yang mengadakan diskusi kecil hingga kongres tingkat nasional tak luput menyentuh tentang teater. Betapa pentingnya teater, betapa merananya teater dan sebagainya. Serta ada juga yang perlu membuat ikatan grup teater tingkat kota hingga tingkat nasional agar kesenian teater tidak mati! Mungkin untuk mengantisipasi . SOS. P3K
Ada yang bicara anggun, meyakinkan dengan pertanyaan; siapa bilang teater sudah mati? Atau, teater tidak butuh kamu, tapi kamu yang butuh teater. Atau, kamu bisa saja mati, tapi teater tidak akan pernah mati. Mati tidak, pingsan mungkin.
Buktinya, pernah di satu kelurahan di Kudus, usai menonton teater, para veteran teaterawan menggelegak gairah teaternya, bereuni sepakat untuk menghidupkan kembali grup teaternya meski tahu akan berjalan mengambang tak menapak bumi. Aneh lagi, di pinggiran Tuban, misalnya, grup teater yang baru terus saja berlahiran. Bisa dibayangkan, bayi-bayi teater ini lahir dengan kurus, kurang gizi, kepala besar, mata besar melotot tapi sayu memandang kepada kehidupan yang tak cerah dengan kaki yang kecil tak bisa melangkah. Tapi intinya, teater memang perlu. Teater memang bandel dan sombong. Teater memang hantu.
* Apresiasi Apa yang kurang dari kebandelan kesombongan teater itu? Hallo-hallo sudah, gembar-gembor dijalankan, woro-woro terus juga, apresiasi hingga provokasi tak henti-henti. Itu semua adalah usaha mensosialisasikan, mempublikasikan, memasyarakatkan teater. Dari kentongan yang dipukul-pukul keliling kota hingga poster lux dan siaran layanan masyarakat di televisi dilakukan. Apa yang kurang dari betapa perlunya teater itu dikenalkan di sekolah-sekolah, bahkan nomor-nomor latihan teater diberikan kepada para TKI/TKW tenaga kerja Indonesia, suster-suster perawat, orang tua siswa peserta Sipenmaru, ibu-ibu hamil bersiap melahirkan, pasien rumah sakit, agar setiap orang selalu siap menghadapi kemungkinan-kemungkinan kehidupan masa depan.
Apa yang kurang dari kehantuan teater, yang selalu membayang-bayang meski sudah bersumpah tak mau lagi berteater! Betapa menggairahkan teater itu bagi yang berteater. Bagi senimannya. (bahkan bagi Penontonnya, betapa bernilainya jika bisa pergi menonton teater! Betapa bernilainya teater itu. (itu kalau di luar negeri))
* Jualan Misal, katakanlah kita akan berjualan kue. Jika kue itu tidak dijajakan dengan suara keras gencar dan memuja-muji sang kue, mana ada orang yang tahu kita sedang berjualan? Akibatnya, kue tak laku, teronggok dan merugi. Besoknya buat lagi seperti itu dengan sisa modal yang ada, hingga rasa dan bentuk tidak lagi menggairahkan, buruknya lagi, besoknya terpaksa menjual kue basi. Terpuruklah si penjual kue itu. Tambah terpuruk, saat si pemasok modalpun menarik diri. Mungkin awalannya seperti itu.
Permisalan itu kita pakai di perteateran. Publikasi sudah dilaksanakan, tetapi masih dianggap tidak maksimal meluas dan menggebu-gebunya. Hingga hanya sedikit orang yang tahu, atau hanya sedikit orang yang tertarik untuk menonton. Ini sangat merugikan lahir batin buat sebuah perusahaan. Publikasi satu bagian sama pentingnya dengan bagian lain di perteateran. Celakalah jika bagian ini terabai, bagai duri tertanam dalam daging, bengkak, nyeri dan fatal. Maka amat mudah, sering kegagalan di perteateran ini mengkambinghitamkan bagian publikasi. Kronis!
Kemudian bagi yang pergi menonton, misalnya, usai menonton, Penonton puas. Tetapi esok harinya terbit di harian Minggu, teater yang mereka tonton itu ternyata dikecam amat sangat buruknya oleh Penonton yang sepanjang malam memberungut menyesal menonton atau pura-pura memberungut. Akibatnya bisa saja, Penonton yang jujur itu mencurigai dirinya, memaki betapa bodohnya dia tadi, (nah, kini dia menjadi pintar). Bisa saja lebih banyak yang takut memaki si pengecam dari pada yang berani menolak, atau percuma meladeninya.
Selanjutnya, apakah suguhan teaternya tak indah, tak enak atau basi? Pertanyaan inipun sempat mempengaruhi calon-calon Penonton yang akhirnya menjadi betul-betul tak mau menonton teater. Khawatir Tontonannya tak enak dan basi. Makin sedikit orang yang berani menonton teater. Konon pempublikasian dan pemuja-mujian sebuah teater bagi sebagian orang awam (Penonton) cukup membingungkan. Ini sudah terjadi terus menerus, tidak perlu dengan kata jika.
Atau kita akan mengatakan bahwa Penonton kita masih tetap awam, masih bodoh dan belum bisa pintar hanya untuk melakukan pekerjaan menonton saja? Atau apakah seniman si pemasak seni teaternya yang bodoh dan belum bisa pintar untuk merogoh sukma Penonton hingga tahu apa yang harus dihidangkan? Tapi inilah mungkin, yang nasibnya sama dengan si penjual kue yang kehabisan modal itu. Apapun kilahnya.
* Usaha Bangun Hantu teater itu terus membayang. Biar grup teater itu sudah bangkrut atau mati, masih juga ingin hidup. Maka diusahakan untuk hidup terus atau dihidup-hidupkan. Secara asal, besar kemungkinan jika si senimannya hidup makmur, maka grupnya makmur, kecil sekali hitungannya kemakmuran seniman datang dari kehidupan grupnya.
Bicara tentang usaha hidup bagi seniman yang bekerja di sawah seni teater, mungkin boleh juga mengandaikan, berteater sama dengan bertani sawah. Petani padi berusaha menjualkan hasilnya dengan segala daya kreatifitas. Mengemas dalam kemasan bagus, diletakkan dalam etalase toko mahal, dipublikasikan dalam koran radio atau televisi dengan memakai Public Figur, hingga laku terjual, bahkan ke luar negeri. Mereka bersaing ketat. Daya jual beli dunia padi beras, masih terus berlangsung. Dan berkelas. Tinggal lagi, beras apakah yang akan dikonsumsi oleh Konsumen. Yang Mahal, Enak, Harum dan Halal? Atau Murah dan Sepanyol (separuh nyolong) atau Berkapang? Dengan menutup telinga, kita masih melihat petani ini bisa hidup dari kepetaniannya
* Kemasan Kini pertanyaannya adalah, sudahkah teater mengemas penawarannya yang bagaimana akan dibuat dan akan disantap oleh Penonton. Teater Realis, Absurd? Dari Ceritanya? Mini Kata atau Mini Gerak, Musik atau Non Musik? Tradisi atau Kontemporer? Komedi atau Tragedi? Menyanjung atau Memaki? Pakai Public Figur? di Gedung Teater Bergengsi atau di Lapangan Desa? Pentas Biasa atau Pentas Malam Amal? Yang Mahal, Memintarkan dan Menghibur? Atau Murah dan Seadanya? Ini usaha kan?
* Profesional Contoh lagi, kerja Ustadz, Pendeta atau Ulama Agama yang memberi kalimat-kalimat pelajaran kepada Ummatnya. Semula mereka kerjakan dengan ikhlas, amal ibadah, lalu jadi Profesi, bahkan dapat bayaran dari setiap Undangan Ceramah. Tentu berkelas juga. Mencapai kelasnya, mereka berusaha membumbui isi ceramah dan gayanya agar disukai dan diminati bahkan dikejar oleh fans. Tentu saja juga pasti ada yang Pro atau Kontra, ada yang Suka dan Tak Suka.
Nah, apakah seniman teater bisa dimiripkan dengan hal Ulama Agama ini dalam berkarya? Bolehkan bertanya? Bagaimanakah orang menggauli teater itu? Apakah berteater semata sebagai hobby, satu jalan bersenang-senang, piknik, membayar mahal untuk kesukaannya, berteater itu sebagai salah satu jalan berexpresi untuk sebuah upacara nurani, mengungkapkan perasaan atau sebagai profesi, lahan teater menjadi satu jalan mencari nafkah bahkan dibayar mahal untuk pekerjaannya. Tentukanlah. Yang penting, kekuatan kreatifitas!
* Sisipan Begitu menyatakan diri sebagai warga negara sebuah pemerintahan negara, maka akan ada kewajiban dan berhak. Wajib membayar pajak, sekecil apapun nilainya atau apapun bentuknya. Berhak mendapat layanan sekecil apapun nilainya. Pada saat yang sama pajak terkumpul untuk membiayai jalannya pemerintahan. Di dalamnya ada biaya pembangunan pendidikan termasuk pendidikan kesenian, kesehatan termasuk kesehatan jiwa mungkin gedung kesenian, ekonomi termasuk pasar tradisi, keamanan termasuk membayar gaji pegawai sipil atau militer, mengantisipasi kecelakaan fisik berupa gangguan penjahat misalnya, bencana alam, yang psykis misalnya hewan bersakitan, orang tegang, gila dan bermatian dsb.
Warga negara, berhak mendapat fasilitas dari situ. Selama memungkinkan, pemerintah akan membiayai fasilitas yang diperlukan. Jika tak mungkin terbiayai maka akan ada kerja sama dengan masyarakat yang disebut disubsidi, (terserah usaha pemerintah mencarikan dana subsidi ini). Jika pemerintah tak bisa juga membantu sedangkan fasilitas masih dibutuhkan, maka masyarakat dipersilakan dan diijinkan membangun dan menghidupi tambahan fasilitas dengan biaya swa-sta, (terserah usaha Lembaga Swa-daya Masyarakat mencarikan dana swa ini, sulit meminta kepada Ibu Kita Sendiri, boleh memohon juga kepada Ibu Kota Negara lain), tentunya dengan seleksi.
Ketika pemerintah melihat adanya peningkatan mutu dan keperluan masyarakat dari usaha LSM, bisa saja LSM itu tidak lagi LSM tetapi sudah menjadi urusan pembiayaan pemerintah. Selama kita percaya pada tata usaha pemerintah, maka kita patut bangga pada peningkatan kelas ini.
* Dilema Hingga saat ini, bursa teater masih membeku, dingin tak berdarah. Katakanlah juga, banyak masyarakat yang membutuhkan kesehatan jiwa berbentuk suplemen Tontonan/menonton teater. Tetapi untuk itu dalam bentuk yang lain, masyarakat Penonton merasa tidak mampu untuk membeli. Sudah banyak juga lsm teater yang mencoba ingin melayani keinginan masyarakatnya itu, tapi gagal berjualan (usaha) teaternya. Tidak klop, begitu. Apakah karena harga mahal barang kurang bagus, atau harga tidak bisa dimurahkan karena barang sangat bagus dan mahal modalnya. Tapi usaha mencapai kesepakatan masih terus dilanjutkan.
Nah, untuk melanjutkan perusahaan grupnya inilah, mereka harus terus dan masih saja mencoba untuk mendapatkan paling sedikit, subsidi dari pemerintah supaya bisa menjual murah dengan barang bagus. Sementara itu, untuk mendapatkan subsidi, grup itu harus menjadi Yang Terperlu, Terbaik dan Terpercaya bagi masyarakat. (ada tapi sangat sedikit anak keluarga miskin berhasil meraih cita-cita, bagaimana mungkin?). Nah, bukankah ini sangat melengkapi dilema?
Ujian yang sulit ini, hampir mengesalkan (melelahkan) banyak orang teater. Bingung menentukan predikat dirinya, apakah teater itu sudah profesi, atau masih sekedar hobby atau expresi. Keputusan pengakuan predikat ini mungkin juga bisa mendapatkan kepercayaan masyarakatnya. Bukankah gaji/honor/upah predikat kuli tukang batu sudah ditakarkan dengan standar UMR dan jelas kehidupannya?
Kembali bertanya untuk meyakinkan diri, sudahkah masyarakat Penonton teater kita seperti masyarakat yang membutuhkan beras, murah atau mahal, atau sesekali memesan semangkuk sup ayam atau segelas tinggi ramping jus mangga? Di jaman teknologi yang serba canggih ini, sudahkah atau masihkah seni teater itu diperlukan? Apakah betul ada dampak kebaikannya untuk kesehatan jiwa? Apakah cukup terpercaya sebagai pemintar atau penghibur? Sudahkah media teater menjadi kendaraan iklan yang baik dan menguntungkan bagi perusahaan-perusahaan dagang sehingga kehidupan berjalan dengan lancar karena saling mendapat keuntungan?
Adilkah pemerintah memberikan subsidi pada grup teater atau seniman teater? Sebanyak apakah orang-orang teater itu? Bisakah pemerintah menambah nilai subsidinya? Apakah tidak mungkin yang nampak nantinya bahwa pelayanan bagi orang teater di kita hampir sama dengan pelayanan dari departemen sosial kepada penganggur di manca negara? Sampai akhir, yang ada hanyalah pertanyaan. Ternyata membuat pertanyaan tentang teater itu mudah, maka tak perlu ada honor, ketimbang persoalan ujian nasional atau ulangan umum.
Mungkin yang bisa diharapkan adalah usaha pemerintah untuk melakukan tindakan yang jeli membuat keseimbanganan bagi habitat kesenian, demi membantu dunia perteaterannya, atau bagaimana menurut anda?
(selamat ulang tahun teater kail, 7 desember 05) Posted by Nani Tandjung at 11:29
Ini adalah sebuah penawarn kepada calon pemasaran sekalian penawaran bagi bagian produksi, dan kepada jajaran dari sebuah perusahaan besar yang selama ini memproduksi teater. mungkin masih dalam uji coba untuk memasarkannya. masih gamang. masih terikat adat istiadat.
Agar teater tidak kehilangan daya pikat dimata masyarakat adalah bukan karena teaternya atau masyarakatnya melainkan pemerintahnya : sejak zaman Yunani kuno kegiatan ritual teater didukung oleh orang-orang kaya dan pemerintah. Tugasnyalah yang mewajibkan masyarakatnya secara regenerasi menjadikan teater sebagai kebutuhan ritual. Di Amerika pendidikan teater dimulai dari sekolah TK, SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi. Kurikulum teater wajib bagi semua pelajar tersebut. Maka dari situlah masyarakt butuh menonton teater.
Apa yang Mbak NT tulis itu 99% benar, berbagai upaya telah dilakukan untuk menghidupkan teater tapi hasilnya selalu nihil dan teater tetap bagai kerakap dalam batu, hidup enggan mati tak mau.
Saat Saini KM yang notabene "sesepuh teater" menjabat Direktur Kesenian, Depdikbud, berbagai upaya untuk mengangkat citra seni teater itu terus dilakukan. Mulai dari seminar, workshop, lokakarya, PR ing, lomba penulisan naskah, lomba penulisan artikel dan festival teater anak-anak/dewasa terus dilakukan tapi hasilnya pun tetap wassalam.
Sutradara-sutradara muda teater berbakat dari setiap provinsi pernah dikumpulkan di Puncak, selama 15 hari mereka "ditatar" oleh para Mpu teater ( Mas Putu, Mas Nano, Mbak Ratna, dsb) untuk menjadi seorang ahli kemas seni teater, bahkan selama 3 tahun berturut-turut mereka diundang ke Puncak untuk menerima materi yg berbeda, tapi hasilnya pun tetap nihil.
Ada apa sebenarnya dengan teater? Mungkinkah hal ini disebabkan oleh egoisme insan-insan teater itu sendiri yg tak mau berkompromi dg pasar? Bingung!
Haaaa, selamat datang ikon teater masa kini Joind dan Koko. Memang, pada akhirnya kita akan terbentur pada SEBUAH CITA-CITA dari PEMERINTAH. Pilihan pada Pembangunan Phisik atau Pembangunan Mental kah yang akan didahulukan atau berbarengan? Keputusan ini didapat dari berapa persentase para pengasuh negeri ini memilihnya. Jika lebih banyak kepada pembangunanbangunan gedung, jalan yang sejenis itu, maka, pembangunan mental harus antri. Tetapi jika memilih pembangunan mental, di dalam ruang ini juga ada orang2 yang berselisih pemikiran, yang mana dulu yang dipilih, apakah pembangunan ilmu pasti atau ilmu sosial, tanpa memikirkan kehadiran ilmu kerohanian itu sendiri.
Kita semua tahu kalau pembangunan mental itu dinomorduakan, karena itulah kita menjadi bangsa kering dan acapkali tercerabut dari akar budayanya. Tabik!
saranku, jangan buruk rupa cermin dibelah. jangan cari kambing hitam, termasuk pemerintah. BERDAMAILAH DENGAN PASAR !!!
Nani Tandjung Full
Disinilah mungkin kita bisa memakai istilah : komplikasi. Layaknya manusia yang mempunyai penyakit ganda : PENDERITA PENYAKIT KUNING DAN PENYAKIT GULA. dikasih gula buat kuningnya, gula mendatang kegilaan. Penyakit KADUNG TERLANJUR. Dikasih buat pemikiran, tidak kuat menerima yang untuk pemikiran, maunya yang lucu dan sedikit porno dan mentertawakan penderitaan. Dikasih yang sedikit porno dan menertawakan penderitaan, KEASYIKAN... maaf hiks hiks PASAR KITA SEPERTI ITU. Pembeli banyak sponsor banyak donatur banyak penonton segar menghisap morphine...
Bekasi, 17 Juli 2010 Nani Tandjung : terima kasih kawan-kawan yang sudah mau berdiskusi di FB saya.
WALIKOTA Jakarta Pusat Edy Djadjang Djajaatmadja, mewakili Gubernur Ali Sadikin yang belum pulang dari tanah,suci, tanggal 31 Desember kemarin menutup Pesta Seni 1974 yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta (11---30 Desember). Bersama dengan itu diumumkan para pemenang babak final Festival Teater Remaja ke-11 DKI Jakarta yang sudah berlangsung 15 hari. Pada bulan September dulu Festival ini telah menyelesaikan babak seleksinya, yang diikuti lebih 130 grup di seluruh Gelanggang Remaja. Sedang pengikut babak final bulan Desember kemarin, bertanding di Teater Arena dan Teater Tertutup Taman Ismail Marzuki, berjumlah 29 grup (dengan catatan sebuah grup mengundurkan diri) dengan perincian 5 grup dari Jakarta Selatan, 5 grup (satu mundur) dari Jakarta Utara, 4 dari Jakarta Timur, 4 dari Jakarta Barat dan 11 dari Jakarta Pusat.
Seperti juga tahun lalu, para finalis kali ini diwajibkan memilih salah-satu dari naskah-naskah pemenang Sayembara Penulisan Lakon Dewan Kesenian Jakarta 1974. Hasilnya 9 grup memilih Dag Dig Dug karya Putu Wijaya, 2 grup memilih Anu Putu Wijaya, 6 grup dengan Jaka Tarub Akhudiat, 2 grup untuk Perjalanan Kehilangan Noorca Marendra, 4 grup untuk Rumah Tak Beratap Akhudiat dan 6 grup (satu mundur) memilih Malam Semakin Kelam N. Riantiarno.
Dewan Juri, terdiri dari Pramana Pmd, Taufiq Ismail, Rudjito, Ikranagara dan Syu`bah Asa, memutuskan grup-grup yang berhak mendapat fasilitas pembinaan dari Dewan Kesenian Jakarta sebagai berikut:
1. Pusat Teater Jakarta, Jakarta Pusat, pementasan Jaka Tarub: grup terbaik I.
2. Teater Katara (Karang Taruna Rawabadak), Jakarta Utara, pementasan Jaka Tarub: grup terbaik II, sutradara terbaik I & penata artistik terbaik II (Eddy de Rounde), pemain pembantu pria terbaik III (Adrie Rantung).
3. Sanggar Teater Jakarta, Jakarta-Timur, pementasan Jaka Tarub: grub terbaik III, sutradara terbaik II (Sudibyanto), penata artistik terbaik III (Pawang Atma).
4. Teater IGMKP(Ikatan Generasi Muda Kramat Pulo), Jakarta Pusat, pementasan Jaka Tarub: grup terbaik III, pernain utama pria terbaik II (Umar Yacob).
5. Teater Remaja Jakarta, Jakarta Pusat, pementasan Malam Semakin Kelam: sutradara terbaik III (Aldisar Syafar), penata artistik terbaik I (Dian-Utari), pemain utama wanita terbaik I (Srie Husin), pemain pembantu wanita terbaik II (Rini Reno Rantih):
6. Teater Ibukota, Jakarta Barat, pementasan Anu: sutradara terbaik III (Abdi Wiyono), pernain utama pria terbaik I (M. Abud), pemain pembantu pria terbaik I (Abdi Wiyono).
7. Teater Polonia, Jakarta Timur, pementasan Rumah Tak Beratap: pemain pembantu pria terbaik I (Christofel Edward Sambuaga).
8. Lisendra RIC, Jakarta Pusat, pementasan Dag Dig Dug: pemain utama wanita terbaik III (SusantiAS).
9. Teater Kail, Jakarta Selatan, pementasan Dag Dig Dug.
10. Road Teater, Jakarta Barat, pementasan Perialanan Kehilangan: pemain utama wanita terbaik II (Wiet Angle), pemain utama pria terbaik III (Yustin Hesa).
Di samping itu masih terdapat para pernain terbaik dari grup-grup yang kali ini tidak berhasil menang:
1. Ny. Rumtani, Teater Sunda Kelapa. Jakarta Utara, pementasan Rumah Tak Beratap: pemain pembantu wanita terbaik I.
2. Yohanes, Teater, Sunda Kelapa, idem, pemain pembantu pria terbaik III.
3. Renny Djajusman, Teater Bulungan. Jakarta Selatan, pementasan Dag Dig Dug: pemain pembantu wanita terbaik III.
4. Torro Margens, Sanggar Prakarya, pementasan Malam Semakin Kelam: pernain pembantu pria terbaik II.
5. Zainal AM, Teater Baracuda, Jakarta Utara, pementasan Malam Semakin Kelam: pemain pembantu pria terbaik II.
10 buah grup teater remaja, yang tahun kemarin sudah rnelaksanakan pementasan-pementasan dalam rangka pembinaan Dewan Kesenian Jakarta. dalam Festival DKJ kemarin ternyata gugur. Hanya empat buah dari 14 grup pernenang tahun lalu yang masih tercantum dalam pengumuman para juri babak final tanggal 31 Desember kemarin ditambah enam buah grup baru. "Memang benar penulihan tahun ini lebih ketat dibanding tahun lampau", demikian Dewan Juri dalam pengantar keputusan mereka. Dari 28 grup yang ikut final - yang diperas dari lebih 130 grup pada waktu seleksi di Gelanggang Gelanggang Remaja - kali ini hanya dimenangkan kurang dari 36%. Bisa dibanding dengan jumlah tahun lalu sebesar lebih dari 58% alias 14 grup dari 24 finalis.
Perihal Kadar Kemajuan. Sebab yang terpenting dari kenyataan itu bisa ditarik dari kadar kemajuan di kalangan potensi-potensi teater remaja sendiri. Pada penyelenggaraan festival yang pertama tahun kemarin, juri-juri maupun Dewan Kesenian Jakarta harus dikatakan belum sepenuhnya berkenalan dengan potensi-potensi tersebut - dan karena itu standar yang mereka berikan masih "sangat toleran". Mereka boleh dibilang hanya menggugurkan grup-grup yang menurut penilaian "memang kelewat buruk" - sambil menyediakan sisanya untuk dilihat, mana di antara mereka yang bisa bertahan tahun depan. Tapi sementara itu rupanya apresiasi teater berkembang dengan kemajuan tertentu di kalangah remaja. Dari luar barisan para pemenang sendiri muncul potensi-potensi yang kernudian ternyata menunjukkan mutu lebih tinggi dibanding grup-grup pemenang. Apa boleh buat: grup-grup juara itupun harus menyingkir, sementara hasil penilaian sendiri - menurut pengakuan para juri lebih bisa rnereka pertanggung jawabkan.
Tapi dapatkah dijamin kesepuluh grup tersebut akan benar-benar muncul lagi dalam deretan para pemenang tahun depan? Sudah tentu tidak. Grup-grup yang kali ini jatuh sendiri itu - lebih-lebih yang tahun lalu berhasil menang dipersilakan bangkit kembali, sementara potensi-potensi yang lain lagi boleh muncul pula. Dan sementara itu bukan tidak terdapat harapan, bahwa empat buah grup yang selama dua kali festival ini tetap tercantum namanya akan bisa selamat lulus pada festival tahun depan - sehingga bisa menambah jumlah dua buah grup senior dari Jakarta yang selama ini tampil di Taman Ismail Marzuki, yakni Teater Kecil Arifin C.Noer dan Tester Mandiri Putu Wijaya. Sebab, seperti dijanjikan oleh fihak Dewan Kesenian Jakarta, bila sebuah grup remaja di Jakarta mampu bertahan melewati ujian festival tiga tahun berturut-turut, ia punya hak untuk dikontrak dan tampil di depan publik pembayar karcis di pusat kesenian itu. Dengan demikian tampaklah, jalan fikiran orang-orang Dewan Kesenian Jakarta sampai sekarang tetap - boleh dibilang - "TIM sentri
"Barangkali saja itu disebabkan oleh kenyataan, bahwa Taman Ismail Marzuki betapapun memang merupakan katalisator - semacam ukuran mutu bagi kehidupan teater di Jakarta maupun, kenyataannya, di seluruh tanah air. Sudah terbukti bahwa wibawa pertunjukan-pertunjukan yang diakui bermutu tersebut mampu menggaet apresiasi bermacam cabang kesenian - termasuk potensi para remaja dalam tester. Namun tempat bagi ukuran mutu katakanlah begitu sudah tentu tidak diharap menjadi satu-satunya tempat di mana orang bisa melihat pertunjukan-pertunjukan yang dianggap bernilai. Sebab di samping TIM, orang boleh menaruh harapan khususnya kepada Gelanggang-Gelanggang Remaja. Karena itulah kepada grup-grup pemenang festival, sejak tahdn lalu Dewan Kesenian Jakarta mewajibkan masing-masing mereka mementaskan dua buah naskah selama setahun di tempat kegiatan muda-mudi tersebut - dengan ketentuan masing-masing naskah dimainkan sedikitnya dua malam. Dengan harapan bahwa mutu di tempat-tempat inipun harus dipelihara - apalagi dengan idam-idaman untuk menjadikan Gelanggang-Gelanggang remaja punya fungsi sebagai pusat-pusat kesenian, yang lain Dewan mengirim orang-orangnya untuk memimpin diskusi dan mengkritik pementasan-pementasan tersebut. Dan bila usaha itu dirasa belum cukup, maka seperti dinyatakan Wahyu Sihombing dari Komite Teater DKJ, tahun ini diharap mulai bisa diselenggarakan kursus-kursus aplikasi teknis maupun workshop teater ini di tempat-tempat kegiatan remaja tersebut.
Potensi yang terserak Yang terakhir itu penting - lebih-lebih bagi grup-grup pemenang yang gugur atau yang selalu gugur. Sebab taroklah grup-grup tersebut belurn cukup representatif dari segi mutu. Namun di sana-sini terbukti sebagian dari mereka sangat produktif sebagai penampungan kegiatan remaja, yang tak jarang melibatkan banyak pejabat dari camat sampai ke lurah-lurah. Sulitnya ialah, sampai di sini orang kadang-kadang harus membedakan antara fungsi grup sebagai penampungan remaja dan fungsinya sebagai pengejar mutu. Misalnya: sebuah grup yang diketahui punya harapan, karena punya anggota yang mungkin dirasa "kelewat banyak" tiba-tiba pecah dua. Dari segi penampungan remaja itu bahkan boleh menguntungkan, selama sarana-sarana yang menunjang kehidupannya tetap ada. Sebaliknya dari segi mutu, orang boleh menyayangkan terpecahnya potensi-potensi yang seharusnya bisa bersama-sama membentuk kesatuan yang tangguh. Apalagi bila grup-grup tersebut ternyata pecah karena misalnya persaingan antar remaja - ataupun oleh sikap untung-untungan untuk bisa bersama-sama masuk final dan lulus. Menjadi jelas bahwa `kesadaran grup', yang justru dipertahankan dan dipupuk oleh grup-grup yang lebih senior, ternyata belum masanya turnbuh di kalangan mereka.
Kenyataan seperti itu terlihat dalam festival kemarin: sebagian grup-grup yang berhal begitu ternyata menunjukan penurunan mutu atau jatuh justru pada babak seleksi. Padahal, sebelum mengingat pemecahan-pemecahan itu sendiri di Gelanggang-Gelanggang Remaja hampir selamanya terlihat beberapa potensi yang terserak-serak di beberapa grup - yang semuanya tidak mencapai mutu yang dikehendaki antara lain karena ada saja halangan mereka untuk bergabung.
Teater Masyarakat. Tetapi jelaslah bahwa, dari segi lain, Dewan Kesenian Jakarta takkan mampu menangani ratusan grup yang tersebar di berbagai pelosok itu. Arti pertama festival adalah justru pada prosesnya sebagai sarana pendewasaan. Dengan itu sebagian grup mungkin akan gugur, bangkit lagi, gugur lagi dan bangkit lagi sekiranya tradisi festival ini tidak mendapat rintangan. Sedang mereka yang berhasil bertahan akan merupakan tenaga-tenaga teater yang cukup sarat pengalaman dan pantas dihormati. Jelas bahwa wibawa festival itu akan - dan sudah - membangunkan gairah dan apresiasi di kalangan remaja. Tetapi dilihat dari dunia remaja sendiri di lapisan yang lebih luas, akhirnya terfikir bahwa tidak selayaknya aktivitas mereka hanya dimulai melulu kepada festival. Sebab bila sebuah grup yang tidak berhasil menang terbukti punya akar yang kuat, dan juga punya publik di samping anggota yang tetap, cukup menjadi problim bagaimana caranya - misalnya agar ia tetap bisa menyelenggarakan pementasan-pementasan di Gelanggang Remaja tanpa mendapat bantuan subsidi dari Dewan Kesenian Jakarta seperti yang diberikan kepada grup-grup juara.
Melihat pengalaman tahun lalu, ada satu-dua grup yang bernasib seperti di atas namun getol mencari uang dengan menawarkan undangan ke sana ke mari untuk mengongkosi pementasannya di Gelanggang. Dengan meminta perhatian fihak Gelanggang Remaja sendiri dan para pamong, siapa tahu kegiatan-kegiatan jenis tersebut bisa lebih produktif. Bila sementara ini lurah-lurah dan bapak-bapak polisi sudah "memelihara" sebagian grup, nyatalah jalan ke arah pembentukan apa yang disebut 'teater masyarakat' atau community theatre itu pada akhirnya mesti difikirkan lepas dari campur tangan langsung Dewan Kesenian Jakarta yang hanya beberapa gelintir orang itu. Termasuk ke dalamnya - sudah tentu kalau semuanya jadi - rencana pemerintah DKI untuk membangun dan menghidupkan bagi rakyat di kecamatan-kecamatan.