BILA CINTA TAK SAMPAI

BILA CINTA TAK SAMPAI
sett dekor luncur BCTS

Jumat, 11 November 2011

MASIH HAL FESTIVAL TEATER 2011


…..
Komite Teater DKJ kalau mau berpikir dan mengingat sedikit lagi saja pasti tahu bahwa Pusat Kesenian Jakarta adalah sebuah ruang publik yang sarat dengan gedung pertunjukan, dengan sendirinya yang harus mengisi gedung pertunjukan tersebut adalah kesenian pertunjukan (kesenian pertunjukan/tontonan). Nah kalau seni tontonan yang namanya teater misalnya pada acara Festival Teater Jakarta (FTJ) di usir dari rumahnya selama 39 tahun yakni TIM atau Pusat Kesenian Jakarta –TIM, bagaimana ini? Lalu siapa yang boleh mengisi gedung kesenian yang megah-megah itu ?

Sehingga lahir pertanyaan, PKJ- TIM (Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki) itu milik siapa? Milik umum/masyarakat atau milik segelintir oknum yang berlindung dan mengatasnamakan DKJ c/q (Komite Teater)? Sebaiknya pertanyaan ini diajukan kepada AJ, Akademi Jakarta, untuk lebih jelasnya, karena AJ (Akademi Jakarta) yang membentuk DKJ...

Yang pasti kalau FTJ dan kegiatan seni teater yang lain seperti pentas 7-an tiap bulan, sudah tidak boleh bermukim di PKJ-TIM, sudah pasti juga tentu saja yang boleh menggelar kesenian di sana hanya grup-grup kesenian yang mempunyai modal untuk bayar sewa gedung yang harganya puluhan juta sampai ratusan juta rupiah permalam. Lalu sekali lagi, seorang teman bertanya, sebenarnya PKJ-TIM itu punya siapa? Tentu saja kita tak bertanya pada rumput yang bergoyang.

Maka terdengar seorang yang lain berteriak, “yang memilikinya adalah Kaum Kapitalis. Mengapa para seniman seniwati tak bangkit menunjukan keberadaannya? Apakah sudah terjadi “rumahku adalah istanaku “ tak berlaku lagi di sini? Apakah sungguh – sungguh tempat ini sudah menjadi ajang Jual-Beli Seni? Padahal seni itu luwes, tapi segelintir orang membuatnya menjadi kaku!

Seorang Abdul Muthalib angkat bicara, katanya : Saya kerja di PKJ-TIM sejak 1968-1974 di masa jaya2nya TIM. Yang saya tau DKJ dan PKJ itu kesatuan. Yang merancang acara DKJ dan yang melaksanakannya PKJ. Kadangkala inisiatif datang dari PKJ, diusulkan ke DKJ, disetujui lalu kami laksanakan. Selama 5-6 tahun saya diajak oleh manajemen ikut membuat sistem dasara kerja.

Belakangan saya dengar antara DKJ dan PKJ terjadi ketidak-harmonisan. Sayang sekali hal begitu bisa terjadi. Kabarnya Dewan lebih sering mengadakan acara di luar venue TIM, mungkin karena PKJ enggan. PKJ sebaliknya juga mungkin malas melaksanakan "tugas" yang diberikan DKJ. Saudaraku Tarno, benang kusut hubungan DKJ dan PKJ itu harus diurai dulu. Sebabnya apa ? Harusnya progran semacam Festival Teater Remaja terus berjalan dan tidak terhalang oleh benang kusut DKJ-PKJ. Atau mungkin ada masalah lain ?

Bung Lily juga berkomentar, bahwa prosedural memang seperti itu, tapi dibalik semua itu kenapa terjadi pembegalan sehingga teater tujuan yang diselenggarakan DKJ juga terputus. Mungkinkah DKJ tak punya program? Atau mungkinkah DKJ sudah tulalit, bingung akan kebodohannya yang memang bukan kapasitasnya yang notabene para dewan adalah corong para group teater yang butuh apresiasi. Kalau FTJ sudah dimutasikan tidak di TIM. dewan KESENIAN jakarta jiwa raganya buat siapa? Kalau seekor Kambing sudah jelas bagi kita dengan gampang untuk memotongnya, tetapi hal ini, bagaimana?

Tetapi Bung Kemalsyah memberi solusi, katanya : Ya di musnahkan saja itu Lembaga-lembaga Kesenian Di Jakarta, Serahkan Kepada Publik, Itukan semua Gedung Publik. Mereka Hanya Menjadi Pelayan Publik, mengutip ucap Bang Ali Sadikin di tahun 2002 Setelah Musyawarah Seniman Jakarta.

Saya baru dengar sejak berdirinya DKJ baru sekarang Komite Teater nya tidak memihak kepada FTJ dan dengan tambahan pementasan teater 7-an, padahal kedua program tersebut sudah nampak dan kita rasakan bersama memberi suasana berkesenian di PKJ-TIM. Sudah tidak lagi nampak bagian belakang TIM, bagian kegelapannya di huni oleh para abg plus yang bermesum-mesuman yang dibiarkan juga oleh para karyawan TIM untuk sebagai hiburan mereka. Ini akibat dari semua lahan di PKJ-TIM itu ramai untuk kegiatan Kesenian (latihan teater), dan mereka pun para abg yang hanya mengejar nafsu tak memikirkan resikonya itu menjadi jengak, dan tak lagi ada di PKJ-TIM. Ini kan dampak positif, pokoknya banyak hal positifnya. Apakah hal ini tidak terlihat? Hal ini memang harus benar2 diperhatikan agar tidak terus kebablasan dan biasa atau menjadi kebudayaan. (meskipun sudah menjadi kebudayaan)
Hal lain yang juga menjadi catatan kawan seniman lainnya :
Yang lebih mendalam dan sangat esensial adalah mengapa Komite Teater tidak mau melibatkan teman-teman orang-orang teater lainnya, untuk mencari solusi. Main mengambil keputusan sendiri yang sangat merugikan grup-grup teater. Apa pun program komite teater DKJ yang sudah bagus itu, mungkin, program FTJ dan program pentas 7-an tidak boleh dianak tirikan apa lagi dikorbankan. Sebab pengertian PKJ-TIM sebagai laboratorium kesenian bukan hanya program riset dan pendidikan kesenian saja yang berbunyi tapi pemengtasan FTJ dan program pentas 7-an termasuk bahan studi banding bagi senimannya..

Hal ini juga dikomentari oleh teman lain, kata mereka kalau DKJ berniat pada kata PROYEK, maka mereka akan melotot pada proyek proyek yg lainnya. Jadi kalau kita melakukan dengan NIAT BAIK maka akan ada kebaikan kebaikan lainnya. Jadi yang namanya apresiasi, kontemplasi dan konsentrasi itu menjadi tidak penting bagi mereka yang memburu proyek. Akhirnya seperti timbul tudingan pernyataan lagi, bahwa DKJ, PKJ-TIM. Bukankah sudah R .I .P dimata Orang-orang Teater Idealis!

Sdr, RG dari Surabaya berkomentar bahwa, kini saatnya teater meninggalkan gedung procenium yang massif, penonton kita sudah muak dengan aturan tetek bengek di dalam gedung. Para penonton kita ingin menjadikan teater sebagai 'upacara bersama'. Jadi kenapa kita takut kehilangan gedung...?

Menanggapi RG dari Surabaya, yah, memang ada peristiwa teater yang sudah meninggalkan gedung pertunjukan, tapi saya yakin masih ada pula teater yang mesih memerlukan gedung pertunjukan. kalau meninggalkan gedung teater itu sebuah pilihan atau penyesuaian dengan ekspresinya oke-oke saja. PKJ-TIM mempunyai ruang yang luas dan dapat dimanfaatkan untuk berekspresi kesenian, di luar gedung mau pun di dalam gedung. Ini masalahnya peristiwa teater yang namanya FTJ tidak diperbolehkan pentas di PKJ-TIM di dalam gedung maupun di plazanya.. Kemudian yang sedang kita masalahkan adalah sebuah ruangan yang namanya PKJ-TIM itu katanya milik masyarakat tapi kok ada masyarakat yang sudah 30 tahunan bermukim di sana di usir.

Lily menambahkan, perasaan dan jiwa hidup hanya dimiliki oleh orang yang dapat berpikir dan mengkomonikasikan dengan hati kecilnya, kata hati ialah utama bagi kalangan teaterawan sesungguhnya. TEATER ialah pencerdasan kebenaran itu sendiri

Buat saya, jangan malu untuk meralat, segera ambil keputusan untuk mengembalikan atau memprogramkan kembali pentas 7-an dan pentas FTJ di PKJ-TIM. Alangkah indahnya dan terdengar sangat cerdas para pengayom grup teater di DKJ itu masih mau mendengarkan suara dari bawah tanah yang termajinalkan yang mungkin juga suara hati mereka. Yang sangat menyedihkan, sebagian teman tak sempat berpikir panjang sebab mereka sedang berkonsentrasi pentas, Pentas hanya pentas, pentas dimana pun jadi karena sudah berbulan-bulan latihan,. Apakah komite teater tak tersentuh oleh rasa admosfir seperti ini ? Apa memang tak merasakan?..

Mari kita cari solusinya, membantu Komite Teater agar tahu kembali posisinya berada di sana. Komite Teater DKJ bertugas menumbuhkembangkan group teater di jakarta secara kwalitas dan kwantitas serta menjadi fasilitator. Juga jelas berkerja sama dengan PKJ TIM sebagai saudaranya sejak mereka dilahirkan.

Kita masih di bawah sang saka merah putih, kita masih samasama ingin menyuburkan perteateran di Jakarta khususnya, di Indonesia pada umumnya. Iya kan??

Teater Kail

Jakarta, 11 – 11 - 11

Rabu, 09 November 2011

jelmaan

Jangan menangis andai penonton teater adalah orang2 teater juga, begitulah seandainya TEATER menjelma sebagai AGAMA. Jika TEATER ingin meluaskan ajarannya tibalah saatnya melakukan penyiaran.






Lain lagi jika menjelma sebagai dagangan, PERLU untuk MENJEJAK BUMI.







Juallah... siapa tahu ada yang mau beli teater.




jakarta indonesia
Teater Kail pada 25 Juni 2010 jam 17:53

  • Haidar Hafeez serem juga ne gak pake nangis hiks hiks
    25 Juni 2010 jam 18:11 melalui seluler ·

  • Teater Kail hahahaaha asyik asyik aja bro n sis...
    25 Juni 2010 jam 20:24 ·

  • Teater Kail kampung ini sepi dialog yah...
    25 Juni 2010 jam 20:36 ·

  • Mickay Koegh Waah , teater kail mau di jual kah ?!
    26 Juni 2010 jam 2:31 ·

  • Nani Tandjung Full wah, mana nih yang suka atau ngomel soal teater yang dihadapi? aman aja rupanya atau malas mikir malas ngomong malas nulis? atau tak menarik? oke deh..
    26 Juni 2010 jam 7:22 ·

  • 'Arrie De Marco' hihihihi...ada2 aja awak niiii....btw saya salut kerana dg tanpa malu2 masalah ini dibuka secara 'porno' semoga saja hal2 sering ber-putar2 diarena intuisi ini tidak menjadi barang dagangan di arena PKL heheheh
    27 Juni 2010 jam 9:56 ·

  • Nani Tandjung Full yoi
    27 Juni 2010 jam 10:25 ·

  • Hujan Tarigan jempol enam
    29 Juni 2010 jam 9:19 ·

  • Efvhan Fajrullah
    ‎: Assalammu'alaikum Uni..! (Sambil berdiri malu2. karena merasa ga diundang. Hihihihiiihiihiihi..) ....Numpang rembug, boleh ga...?
    Karena teater bagi saya adalah sebuah ibadah budaya (sebagaimana umat manusia memilih agama yang dianutnya, berdasarkan keyakinan masing-masing). Maka, sebagai umat yang beragama, tentu saja harus menjalankan ibadah sesuai dengan tuntunan dan keyakinan yang dianut.
    Nah, jika saya analogikan hal tersebut dengan konteks kebudayaan, yang dalam hal ini adalah teater, maka berteater adalah ibadah yang saya lakukan sebagai upaya menjalankan tuntunan dan keyakinan sebagai mahluk seni yang “berbudaya,” diusahakan melalui cara yang baik dan benar, termasuk "menjual Teater..!"
    Paling tidak dengan cara menyebarkan "virus berteater" dan "menjerumuskan orang ke jalan yg benar..". Itu saja.
    Viva Teater..! Salam Budaya..!
    Hahahahaahahaha...!
    29 Juni 2010 jam 9:42 ·

  • Teater Kail saudaraku, Efvan, maafkanlah, kau selalu hadir pada hari2 kita, mengapa berbasabasi betul, kami tahu anaknya bunda nani tandjung kan? hahahaha intinya ya sama lah, apa kau juga mau menunjukkan jempol tujuh? :))))
    29 Juni 2010 jam 19:40 ·

  • Achiem Putih teater,,,,?????
    29 Juni 2010 jam 20:20 ·

  • Uddink Studentscommunityart sebarkan lah ajaran kita....
    semoga kita semua sukses....
    29 Juni 2010 jam 23:33 ·

  • Nani Tandjung Full wah, sip 'din...
    29 Juni 2010 jam 23:38 ·

Jakarta, 09 November 2011

Selasa, 08 November 2011

TEATER INSTAN, APA ITU?


Pernah saya mengajukan harapan, kapankah orang-orang Indonesia membutuhkan teater sama dengan kebutuhan orang Indonesia terhadap beras menjadi nasi dan nasinya nasi bagus, enak dan sehat tetapi murah dan bukan murahan.

Setiap hari, tanpa khawatir nasi akan membuatnya keracunan. Oh ya, maaf, sebelumnya, perlu juga ditekankan sekali lagi, nasi bagus, enak, sehat, murah dan bukan murahan. Sebab, kalau kita akan bertemu juga dengan jenis nasi yang seperti pembagian ‘raskin’ beras untuk orang miskin, nampaknya bagus tetapi rasanya hampa, baunya pun menyedihkan tetap saja tidak memberikan kesehatan buat kita. Kenyang pun tak tentu arah meski tetap harus mengucap syukur.

Pemahaman tentang ‘teater’ pun jangan terpeleset jauh. Teater yang dimaksud adalah yang agak mengkerucut ke arah pemahaman teater yang verbal. Karena apa pula harus diperjelas? Ya, karena pemahaman ‘teater’ saat ini nyaris sudah berkembang luas. Maksudnya, setiap apa yang dapat ditonton dan dinikmati, itu adalah ‘teater’. Misalnya, seni tari, band, topeng monyet, orang-orang demontrasi di MPR DPR, orang-orang di MPR DPR sana, bahkan kecelakaan di jalan raya.

Memang setiap hari kita menyaksikan ‘teater’ tersebut. Baik dengan kasat mata langsung atau live maupun lewat televisi berbagai pemancar. Di sana, bercampur segala rasa. Rasa musik, rasa tari, rasa berita, rasa monolognya para ulama dan pejabat dan sebagainya.

Ada yang sehat dan ada juga tentu yang harus dicurigai ‘teater’ itu mengandung racun, merasuk dan merusak ke dalam jiwa raga. Ini kadang tak kita sadari, bahwa kita juga punya hak untuk memalingkan mata untuk tak menyaksikannya. Dan kita biarkan diri kita menikmati meski sambil memberungut ngomel yang artinya kita sebenarnya menyadari hidangan itu kurang atau tidak menyenangkan. Atau setelah berselang lama baru merasakan kesakitan dan mencoba mencari asal usul penyakitnya.

Kita pun tidak sendirian, kita yang adalah setengah lebih dari jumlah penduduk negeri Indonesia yang mengalami kesakitan secara evolusi karena telah mengkonsumsi ‘teater’ yang terpeleset lebih lima menit. Dari nelayan di perahunya di tengah laut hingga petani di pondoknya di lereng gunung semua kejangkitan. Kesakitan yang dirasakan bahkan menjendol-jendol di tubuh setiap pribadi dan menyalahkan pribadi lainnya dan tetap keranjingan. Jika kurang puas, setiap pribadi yang mengidap sejenis penyakit akan mencari habitatnya, berkumpul dan terhimpun dalam himpunan besar lalu saling menuding himpunan besar lainnya sebagai penyebar wabah penyakit dan tetap menikmati ‘teater’ terpeleset.

Penyakit yang menyeruak di tubuh negeri ini, sebenarnya sudah sangat fatal. Demam tinggi. Infeksi! Tahu apa yang dirasa, tetapi tak tahu apa pangkalnya, lalu mereka-reka untuk mengobatinya. Kadang dengan mengelus-elus bagian yang sakit, kadang menggeram ingin mengamputasi apa yang dikira bagian yang sakit yang tak dapat disembuhkan. Stress! Ketidak-sadaran, gelisah, koma atau mati suri. Nah, teramat gelisahnya, maka ber’tampin-taruh’ atau ‘gayung-bersambut’ dengan para pedagang penjual obat atau suplemen.

Para pedagang berlomba memberikan hiburan lagi, memasang kaki di negeri ini, dan rakyat negeri ini sadar kalau sedang dirampok, tetapi karena sudah menjadi ‘rampok mania’ maka peristiwa teater perampokan pun bergulir dengan cepat dan lancar.

Segala obat dan suplemen dicoba dan dilahap, tanpa bertanya khasiatnya apa. Secara ilmu jiwa, pabrik obat bin suplemen sudah bisa memastikan, sang pesakitan pasti hanya meruntut kepada jenis rasa sakitnya saja, lalu dipadankan ke daftar khasiat obat bin suplemen. Tanpa memikirkan, obat bin suplemen itu mengapa bisa mengobati segala macam penyakit.

Kekayaan negeri kita terkuras habis untuk membayar segala macam obat bin suplemen itu, dan kita menjadi ketergantungan pada obat dan suplemen. Kita tak merasakan diri kita terbodoh.

Benar-benar kita tak menyadari itu adalah efek dari ‘teater yang terpeleset’. Hal ini tidak terlepas dari belenggu rantai sejarah.

Pada jaman penjajahan, baik di jaman Belanda atau Jepang, sejarah awak perteateran sempat mengganggu jiwa bangsa kita. Rasa takut dan malu sangat menghantui jika ada anggota keluarganya bergerak di perteateran. Di manapun, nasib bangsa yang terpuruk plus bekerja di dunia ‘hiburan’ amat mengancam sebuah kehormatan. Julukan mereka ‘anak main’.

Selain kelompok kesenian mereka menghibur penjajah, tubuh-tubuh pribadi-pribadinya pun harus siap melayani nafsu sex para penjajah. ( maaf, jangan dibaca : hingga kini). Karena itu, sampai beberapa tahun kemarin pun, masih menjadi momok buat orang tua untuk melepas anak mereka bekerja di dunia kesenian khususnya teater. Padahal yang seperti itu bukan hanya terjadi di wilayah kesenian saja, tetapi di bagian rumah tangga yang sopan pun bisa terjadi peristiwa yang mengusik kehormatan. Akibat yang memberikan akibat berikutnya.

Tetapi kepala sakit membayangkan hidupnya gelembung teater ini, seperti mempelajari atom-atom pada pelajaran ilmu kimia. Ion-ion berterbangan tak henti, lepas dari yang satu lalu menempel ke bagian lain.

Saat kita menghendaki teater berkembang dengan baik, memang ada perkembangan yang baik, misalnya, sekolah dan kampus sudah mulai meriah suasana teaternya. Tetapi di bagian lain, kesemarakan yang pernah terasa, menjadi merosot. Banyak kekuatan untuk kepentingan-kepentingan tersendiri saling menyedot. Akibatnya, terjadi pemerosotan mutu teater. Sejaman dengan yang lainnya, semua menjadi serba instan.

Makanan instan memang menyenangkan, tetapi terlalu gurih dan bisa membuat sakit organ tubuh dan jiwa kita, yang merindukan kesegaran.

Teater Instan memberi kesegaran dan kegembiraan juga, tanpa disadari benih ini akan tumbuh kekar dalam jiwa kita seperti tumor atau kanker, Yang pada akhirnya akan memberi rasa sakit juga. Uniknya mereka atau kita tetap suka menonton yang instan ini.

Ibarat benang, nampak benang yang kusut, dengan sekian jumlah ujung benang, sulit mencari ujung yang benar, karena sudah banyak yang terputus-putus. Semakin ditarik semakin merapat kusutnya negeri ini.


nani tandjung 09 nov 2011

Jumat, 04 November 2011

KOMITE TEATER DKJ MENGUSIR FFTJ DARI PKJ TIM?


Perlukah Awak Teater di DKI Jakarta bercuriga lebih jauh karena harus melanjutkan pesta Final Festival Teater Jakarta, di luar Pusat Kesenian Jakarta (lagi)? Mengapa tak mencecar bertanya terus dan bertahan? Bukankah kita boleh mempertahankan apa yang telah menjadi hak kita? Bukankah program FTJ sudah menjadi program tahunan pembinaan tetap Pemda DKI Jakarta sudah selama 39 (tiga puluh Sembilan) tahun. Bukankah acara FTJ adalah acara terprogram dan bukan acara dadakan? Bukankah Grup TEATER di Jakarta mempunyai pelindung dan pengayom yang namanya DKJ, Dewan Kesenian Jakarta, sebagai kepanjangan tangan Pemda DKI Jakarta untuk membina kesenian di Jakarta ini? Kemana itu taring DKJ Jakarta?
Terutama mengulang kembali, yang harus maju di depan sebagai pemrakarsa adalah grup-grup teater para finalis itu sendiri untuk jumpa kembali dengan DKJ Komite Teater. Mungkin perlu atau boleh mengundang grup teater se Jakarta, seniman, tokoh masyarakat dan wartawan. Boleh juga tidak mengundang siapa-siapa, maju sendiri (Grup Finalis FTJ) sebab merekalah yang kena imbas dari keputusan atau kebijaksanaan para penentu di DKJ dan PKJ TIM. Ayo berjuang, dan bersikap lebih kritis
Kita bisa menolak. Tolak pemberian uang atau apa saja dari panitia final FTJ sebagai pengganti untuk mencari gedung pentas pelaksanaan FTJ di luar PKJ TIM atau pesangon keluar dari PKJ TIM . (Itu kalau saya). Kita bebas bersikap dan berkehendak.
Kita memang harus berhati-hati, sudah lama banyak orang yang tidak suka FTJ. Jadi kita harus berpikir cerdas dan kritis untuk mencari solusinya. Sudah saatnya kita harus duduk bersama (lagi) dengan DKJ Komite Teater, bermusyawarah mencari jawab dengan kepala dingin dan damai.
Siapa pun dia, kelompok, oknum pribadi, pejabat yang ingin membumi hanguskan FTJ dari DKI Jakarta, adalah termasuk orang yang tidak peka terhadap lingkungan yang mendalam (Psikologi Sosial), bahwa hidup tidak hanya perlu stamina yang prima dan pisik yang sehat. Hidup atau kehidupan juga membutuhkan kesenian guna memperhalus rasa yang dapat menselaraskan hidup menjadi harmonis. Begitu pula, Teater dapat menampung remaja kita memberikan kegiatan seni yang positif untuk mengantar tumbuh kembangnya kedewasaan menuju pencarian jati dirinya.

Kalau saja para pengayom teater di komite DKJ itu mau mempertahankan pentas FTJ di TIM dengan sungguh-sungguh pasti bisa. Sebab FTJ bukan program dadakan, bahkan sudah menjadi program tahunan dan sudah berjalan selama 39 tahun. Atau memang di hapus atau sengaja tidak di programkan oleh Komite Teater DKJ pada saat mengajukan anggaran ke Pemerintah Daerah DKI Jakarta. Kalau itu yang terjadi maka Komite Teater DKJ memang sengaja ingin membumi hanguskan teater (mengusir FTJ) dari Pusat Kesenian Jakarta-TIM. Apakah ternyata Komite Teater DKJ adalah musuh dalam selimutnya FTJ?

Sama halnya dengan apa yang telah terjadi, yang jadi catatan perteateran di Jakarta, misalnya, padahal DKJ Komite Teater, bisa saja melanjutkan program pentas 7-an setiap bulan, di mana banyak insan teater plus seniman dan masyarakat luas, sudah melihat rasakan perkembangan positifnya dari acara itu. Tapi mengapa terhenti dengan alasan tidak ada pendanaan? Bukankah dengan misalnya, misal, misalnya, dengan menyumbangkan honorarium mereka misalnya lagi, sebanyak 50% (serelanya) untuk grup yang pentas 7-an. Sebab kita ketahui bersama para anggota Komite Teater tersebut secara inkam mereka juga punya sumber lain dari pekerjaan selain sebagai anggota Komite Teater di DKJ. Jadi tidaklah mereka sampai menjadi miskin atau kelaparan kalau mau menyumbang, memperhatikan, berjuang untuk teater..