
Maka terdengar seorang yang lain berteriak, “yang memilikinya adalah Kaum Kapitalis. Mengapa para seniman seniwati tak bangkit menunjukan keberadaannya? Apakah sudah terjadi “rumahku adalah istanaku “ tak berlaku lagi di sini? Apakah sungguh – sungguh tempat ini sudah menjadi ajang Jual-Beli Seni? Padahal seni itu luwes, tapi segelintir orang membuatnya menjadi kaku!
Seorang Abdul Muthalib angkat bicara, katanya : Saya kerja di PKJ-TIM sejak 1968-1974 di masa jaya2nya TIM. Yang saya tau DKJ dan PKJ itu kesatuan. Yang merancang acara DKJ dan yang melaksanakannya PKJ. Kadangkala inisiatif datang dari PKJ, diusulkan ke DKJ, disetujui lalu kami laksanakan. Selama 5-6 tahun saya diajak oleh manajemen ikut membuat sistem dasara kerja.
Belakangan saya dengar antara DKJ dan PKJ terjadi ketidak-harmonisan. Sayang sekali hal begitu bisa terjadi. Kabarnya Dewan lebih sering mengadakan acara di luar venue TIM, mungkin karena PKJ enggan. PKJ sebaliknya juga mungkin malas melaksanakan "tugas" yang diberikan DKJ. Saudaraku Tarno, benang kusut hubungan DKJ dan PKJ itu harus diurai dulu. Sebabnya apa ? Harusnya progran semacam Festival Teater Remaja terus berjalan dan tidak terhalang oleh benang kusut DKJ-PKJ. Atau mungkin ada masalah lain ?
Bung Lily juga berkomentar, bahwa prosedural memang seperti itu, tapi dibalik semua itu kenapa terjadi pembegalan sehingga teater tujuan yang diselenggarakan DKJ juga terputus. Mungkinkah DKJ tak punya program? Atau mungkinkah DKJ sudah tulalit, bingung akan kebodohannya yang memang bukan kapasitasnya yang notabene para dewan adalah corong para group teater yang butuh apresiasi. Kalau FTJ sudah dimutasikan tidak di TIM. dewan KESENIAN jakarta jiwa raganya buat siapa? Kalau seekor Kambing sudah jelas bagi kita dengan gampang untuk memotongnya, tetapi hal ini, bagaimana?
Tetapi Bung Kemalsyah memberi solusi, katanya : Ya di musnahkan saja itu Lembaga-lembaga Kesenian Di Jakarta, Serahkan Kepada Publik, Itukan semua Gedung Publik. Mereka Hanya Menjadi Pelayan Publik, mengutip ucap Bang Ali Sadikin di tahun 2002 Setelah Musyawarah Seniman Jakarta.
hal ini tidak terlihat? Hal ini memang harus benar2 diperhatikan agar tidak terus kebablasan dan biasa atau menjadi kebudayaan. (meskipun sudah menjadi kebudayaan)
Hal lain yang juga menjadi catatan kawan seniman lainnya :Hal ini juga dikomentari oleh teman lain, kata mereka kalau DKJ berniat pada kata PROYEK, maka mereka akan melotot pada proyek proyek yg lainnya. Jadi kalau kita melakukan dengan NIAT BAIK maka akan ada kebaikan kebaikan lainnya. Jadi yang namanya apresiasi, kontemplasi dan konsentrasi itu menjadi tidak penting bagi mereka yang memburu proyek. Akhirnya seperti timbul tudingan pernyataan lagi, bahwa DKJ, PKJ-TIM. Bukankah sudah R .I .P dimata Orang-orang Teater Idealis!
Sdr, RG dari Surabaya berkomentar bahwa, kini saatnya teater meninggalkan gedung procenium yang massif, penonton kita sudah muak dengan aturan tetek bengek di dalam gedung. Para penonton kita ingin menjadikan teater sebagai 'upacara bersama'. Jadi kenapa kita takut kehilangan gedung...?
Menanggapi RG dari Surabaya, yah, memang ada peristiwa teater yang sudah meninggalkan gedung pertunjukan, tapi saya yakin masih ada pula teater yang mesih memerlukan gedung pertunjukan. kalau meninggalkan gedung teater itu sebuah pilihan atau penyesuaian dengan ekspresinya oke-oke saja. PKJ-TIM mempunyai ruang yang luas dan dapat dimanfaatkan untuk berekspresi kesenian, di luar gedung mau pun di dalam gedung. Ini masalahnya peristiwa teater yang namanya FTJ tidak diperbolehkan pentas di PKJ-TIM di dalam gedung maupun di plazanya.. Kemudian yang sedang kita masalahkan adalah sebuah ruangan yang namanya PKJ-TIM itu katanya milik masyarakat tapi kok ada masyarakat yang sudah 30 tahunan bermukim di sana di usir.
Lily menambahkan, perasaan dan jiwa hidup hanya dimiliki oleh orang yang dapat berpikir dan mengkomonikasikan dengan hati kecilnya, kata hati ialah utama bagi kalangan teaterawan sesungguhnya. TEATER ialah pencerdasan kebenaran itu sendiri
Teater Kail
Jakarta, 11 – 11 - 11