BILA CINTA TAK SAMPAI

BILA CINTA TAK SAMPAI
sett dekor luncur BCTS

Senin, 01 Agustus 2011

MANUSIA SETENGAH DEWA

Bubur merah menindih bubur putih. Biarkanlah. Dalam tempo tertentu, mereka tidak bercampur, dan biarkan lebih lama lagi, tentu mereka tak kuat menahan kekentalan diri, lalu mencair dan menyatu saling mempengaruhi. Tetapi semoga masih ada kemungkinan, walau bentuk berubah, nama pun berubah, tak usah khawatir, jika rajin, asal usulnya masih bisa ditelusuri. Mengumpulkan penyebutan atau penamaan serta kegunaan benda dan peristiwa itu, lumayan banyak.

Maka adalah sekumpulan orang yang menginginkan kebaikan, (yang sebagian orang menilai ukuran kebaikan itu tak terhingga atau relative). Dengan caranya, dalam kebersamaan, mereka melakukan semacam doa, upacara ritual, magis, atau apapun itu, dan itu adalah usaha menuju keinginan tadi.

Katakanlah, upacara itu telah dilakukan oleh orang-orang Yunani jaman kuno, di suatu tempat, teater. Sehingga, Teater, dalam sejarah dunia, dikatakan adalah sebuah tempat berkumpul orang-orang untuk melakukan sebuah peristiwa ritual keagamaan di Yunani kuno. Sebuah peristiwa. Yang jika dibayangkan adalah satu upacara kebersamaan, yang didorong oleh adanya harapan, perasaan indah, nikmat, ngeri, berhubungan dengan sesuatu yang gaib, roh-roh, mantra-mantra dan khusyuk.

Suatu ketika, Pemimpin melakukan penjelasan bahkan mencoba memberi contoh dengan perwujudan dari keinginan, ketidak-sukaan, bahkan keadaan dunia roh dan kegaiban kepada jemaahnya. maka untuk lebih nyaman mendengar dan memperhatikan pelajaran, kadang dilakukan pemisahan ruangan antara pemimpin beserta keluarganya dengan jemaah lain. Kalau kurang jelas, bisa terjadi interaksi antara pemimpin dan jemaah.

Pada bagian mewujudkan percontohan sebuah peristiwa, dikatakan itu adalah dramoa, pengulangan peristiwa. Kata dramoa ini kemudian bergeser menjadi drama. Tentunya menyampaikan keinginan dalam keagamaan tidaklah cukup sekali atau dua kali, bahkan berulang-ulang. Pada waktunya, kata teater dari pengertian tempat bergeser menjadi pengertian sebagai tontonan. Dari sejarah Yunani itu, dapatlah dikatakan Teater adalah semacam sarana perantara, mediator menuju kebaikan.

Persoalanpun meluas. Ketika dunia mengiyakan bahwa teater itu berawal dari Yunani Kuno, ya sudahlah. Benih-benih teater inipun diterbangkan angin, sehingga sampailah ke segala penjuru dunia, termasuk Indonesia. Entah siapa dahulu sampainya, tetapi tumbuhnya roh-roh teater ini dipengaruhi oleh jarak pengakraban dengan alam barunya.

Tetapi perlu juga disombongi, bahwa kita manusia di Indonesia ini, pernah punya niatan berbuat baik, maka lahir pula pikiran-pikiran untuk beragama, dan menggunakan “sesuatu” itu sebagai sarana pembelajaran. Mungkin itu juga, teater namanya.

Yang tercatat dalam sejarah keagamaan, dalam upaya menyampaikan pelajaran, semisal, diantara Wali Songo, ada yang meneruskan pemakaian kisah ‘Arjuna dan Krisna dengan visualisasi wayang dengan segala perangkatnya sebagai sarana beragama Hindu’ untuk Islam di pulau Jawa. Belakangan ini dalam sejarah kebangsaan Indonesia, yang masih sempat tercatat, kesenian toneel, yaitu kelompok sandiwara menghibur dari Kelompok Sandiwara Dardanela, dan banyak juga kelompok Sandiwara dengan pesan-pesan rahasia dari tokoh perjuangan untuk masyarakatnya menyebar di Indonesia.

Tanaman teater ini tumbuh di alamnya. Sebagaimana terkadang kita suka sesekali merasakan spageti atau hamburger, bolehlah kita juga sesekali menikmati pentas teater yang tumbuh di Broadway, atau di Tabanan misalnya sehingga kita bisa membedakan rasa teaternya yang sudah barang tentu masing-masing teater itu juga dipengaruhi oleh alam yang dipenuhi oleh roh-roh dan kegaibannya. Kekuatan gaib ini saling mempengaruhi dengan kekuatan ritual. Roh-roh dan kegaiban inilah yang akan tervisual oleh para seniman sebagaimana terjadi pada peristiwa upacara ritual Yunani kuno tersebut.

Itupun jika para seniman mempunyai ketajaman mata batin untuk menangkap tanda. Sehingga dalam hal ini, yang pada awalnya masing-masing alam mempunyai karakter, karena terjadi saling mempengaruhi antara seniman dan alam, hasilnya akan terlihat pada kehidupan nyata. Atau terbentuknya dunia nyata berdasarkan apa adanya kekayaan alam masing-masing, tergantung pada pengasahan ketajaman batin para senimannya.

Pengarang, Sutradara, Kelompok Teater yang adalah seorang pemimpin ritual beserta keluarganya memang harus memiliki ketajaman batin. Sebagai perantara, antara dunia roh dan dunia nyata. Ketajaman batin yang kadang kala tanpa disadari sebagai hasil pemikiran, logika inilah, jika di Jepang, orang teater atau seniman, diakui sebagai manusia setengah dewa. Nyaris menjadi ‘gila’ jika pada waktu telah berselang lama, begitu pemvisualisasi dunia roh dan kegaiban ini ditelaah kembali, maka banyak orang tercengang-cengang kagum, mengakui kehebatan ketajaman batin sang seniman. Padahal, bisa saja terjadi pengulangan peristiwa yang sama jika unsurnya sama, perbedaannya hanya pada ruang dan waktu. Dan itulah kehebatan seniman yang selalu belajar dan berpikir dengan teliti, tak meluputkan peristiwa biasa yang sebenarnya luar biasa. Semua terjadi berulang-ulang .

Dalam upacara ritual, siapa saja yang berada dalam satu ruangan atau teater, terlibat dalam kebersamaan berdoa. Dalam kerja teater, Pengarang, Sutradara dan Anggota, akan melibatkan Penonton, merupakan kesatuan dan kebersamaan untuk memiliki kecerdasan, yang terjadi pada ruang dan waktu pemerosesan, yakni dalam peristiwa teater. Dengan harapan, kecerdasan ini akan terwujud di dunia nyata.

Ketajaman batin sangat penting bagi siapa saja. Ketajaman batin disebut juga sebagai petualangan, keliaran, kenakalan, atau bahkan pemberontakan pikiran yang mampu menembus lapisan-lapisan kabut penutup kemurnian dan kebenaran. Lapisan-lapisan padat yang kemudian menjadi kewajaran dalam kebudi-dayaan. Ketajaman batin akan menyeruak masuk menembus mencari inti pengaruh. Karena itu, yang memiliki kemampuan mengusik, menguak dan membabat ini, harus siap menghadapi resiko karena sudah berani mengusik-usik kebiasaan yang sedang berlangsung pada dunia nyata. Bisa jadi ini sebuah pembaharuan, bisa juga ini adalah pengembalian ke awal yang terlupakan.

Tetapi ada juga seniman atau pekerja kesenian yang tak mengacuhkan hal-hal yang metaphysic. Padahal betapa realis atau normalnya sebuah hasil karya kesenian tentu dipengaruhi oleh sesuatu yang tak nampak. Karena itu akan terlihat kekuatan sang seniman apakah dia dapat menundukkan pengaruh alamnya, atau dia begitu lemah dan lunak, membiarkan dirinya dibalut oleh lapisan yang kebiasaan atau yang biasa-biasa saja, yang menutupi kebenaran, yang tak mengusik.

Jika terjadi peristiwa seperti ini, maka Penonton pun tak mendapat kelebihan dari apa yang mereka punya, kecuali bagi Penonton pemula yang tak memiliki apa-apa lalu mempunyai apa-apa sekecil apapun yang telah diberikan teater tersebut, atau mungkin saja terjadi penolakan atau pemuntahan.

Dari kekuatan alam yang absurd itu akan muncul juga sesuatu yang akan melahirkan bentuk yang lebih absurd. Sesuatu yang alot, kuat, yang mampu membentuk karakter dan mempengaruhi. Kekuatan ini akan menampilkan perbedaan antara seniman. Mungkin juga ini sebuah pilihan atau sebuah pencapaian. Bisa jadi selain karya dan pemikirannya, sang seniman akan berpenampilan aneh nyaris menjadi focus interest. Sangat kuat ke-aku-annya, meski keakuan itu dianggap wajar. Bagi penonton yang sudah bisa memilih, mereka boleh atau akan memilih. Memilih dan memikirkan mana yang lebih baik dan wajar. Yang sesuai dengan pelajaran yang dianutnya dan sesuai dengan kecerdasannya.

Jadi, jika sebuah kelompok teater atau para SENIMAN tak mampu mengajak Penonton/PENIKMATnya menjadi cerdas, hal ini akan tervisual pada dunia kenyataan. Atau boleh juga, dibaca sebaliknya, jika masyarakat dunia nyata tidaklah cerdas, maka kerja kelompok teaterlah atau SENIMAN yang harus membuat masyarakatnya menjadi cerdas, ajak mereka untuk menjadi Penonton/PENIKMAT yang mampu memilih kebaikan. Perlu dipertanyakan apakah masyarakat Indonesia sudah merata kecerdasannya. Pada dasarnya teater di Yunani kuno itu bermaksud menuju kebaikan, saya kira.

Jatinegara, 25 Juli 2011

Nani Tandjung, Pemonolog

Teater Kail

APA BEDA FTR DAN FTJ

Sutarno SK

Kalau saya ditanya perbedaan Festival Teater Jakarta jaman saya dulu dengan jaman sekarang, saya bingung karena apanya yang dipertanyakan. Hal penyelenggaraannya atau pesertanya. Kalau hal penyelenggaraan, tentu akan berkaitan dengan kepanitiaan, yaitu panitia pada babak penyisihan dan pada babak final.

Menurut hemat saya, pada kedua pihak penyelenggara harus mulai memikirkan ulang dengan jumlah pemenang yang hanya tiga grup teater di babak penyisihan. Dan yang nantinya di babak final dari lima wilayah se-DKI berjumlah 15 grup peserta akan muncul 3 grup teater sebagai juara.

Kalau Cuma 3 grup sebagai pemenangnya biasanya pada penentuan sebagai pemenang yang ke 3 di babak penyisihan atau pada babak final, sering-sering juri mengorbankan satu atau dua grup yang mempunyai nilai sama untuk menduduki juara 3. Sekali lagi, baik di babak penyisihan maupun di babak final sebagai juara.

Seyogyanya kalau FTJ masih berkoridorkan sebagai ‘pembinaan’ tidaklah berlebihan kalau memasukan lima grup teater dari babak penyisihan ke babak final, yang kemudian di babak final, selain 3 grup juga dipilih pula juara harapan 1 dan harapan 2. Ini sesuai dengan jumlah wilayah yang dipunyai DKI Jakarta, sebanyak lima wilayah. Namun bukan berarti panitia wilayah bisa meminta jatah setiap wilayahnya harus dimasukkan minimal satu grup teater sebagai pemenang di babak final. Tetap tidak bisa. Yang menentukan pemenang adalah juri yang tidak terkesan bagi-bagi jatah. Dan mungkin saja akan terjadi para pemenangnya di raih oleh satu atau hanya dua wilayah saja.

Kemudian agar generasi baru grup teater bermunculan harus ada pembatasan, yang sudah menang sebanyak tiga kali berturut-turut atau dalam kurun waktu tertentu sudah tidak diperbolehkan mengikuti FTJ lagi, dipersilahkan untuk mengikuti lomba atau festival teater yang tingkatnya lebih provesional. Kalau belum ada festival teater yang lebih prov, ya di bikin, jangan mengganggu FTJ yang sudah berjalan 39 tahun sebagai sarana pembinaan, bukan sebagai pertarungan gladiator teater. Dengan iming-iming sejumlah hadiah uang yang sangat fantastis dan berdampak merubah motivasi para muda berteater.

Sisi lain.

Memang sudah lama muncul pertanyaan, akan dikemanakan grup teater hasil festival yang konon namanya adalah sarana pembinaan remaja berkonotasi masyarakat muda teaterawan ini? Bagaimanakah caranya agar para grup teater yang sudah tiga kali menang tetap bisa berkarya? Apakah pemerintah DKI Jakarta, punya kewajiban mensubsidinya dan memfasilitasi grup-grup yang setiap tahun nyaris selalu bertambah jumlahnya? Jawabnya iya!. Pemerintah DKI harus dengan bangga berkewajiban untuk mengayomi grup teater berperan sebagai bapak angkatnya yang hanya boleh tut wuri handayani saja. Sebab peristiwa FTJ itu sendiri sudah menjadi asset budaya DKI. Banyak anak muda yang terterapi dari kehidupan sosial yang tidak kita inginkan bersama karena adanya grup teater.

Sebab selain teater merupakan terminal berbagai disiplin cabang kesenian lainnya, juga dapat berfungsi ganda sebagai penggodokan mental dan rohani positif penggiatnya..

(BERSAMBUNG)

forum rembug teater


Bang Uncu Natsir
FTR dulu kita ikut sebagai peserta, FTJ tidak... Hehehe... Maaf lahir batin Mas Tarno.. Besok mau puasa nih..


Sutarno Sk
100 untuk BUN,hehehe.

Putu Sayuti Zuhri
Amat sangat setuju dengan apa yang sudah dipaparkan dengan jelas oleh mas Tarno.

Sutarno Sk
oks kalau begitu mari kita jaga kelestariannya ruang sosial yang namanya Teater. PSZ setju juga kan ?

Putu Sayuti Zuhri
Sangat setuju mas. Mengingat dimana teater merupakan salah satu wahana yang tepat untuk mengekspresikan diri, membangun inspirasi yang positif, dan kecerdasan individu. Jadi, saya sangat mendukung upaya pelestarian dunia perteateran. Khususnya di Indonesia.

Andhikara Ikhwandie ‎:)

pertama, aku sangat terkesan dengan catatan ini
kedua, aku gembira dengan adanya catatan ini.. sebab catatan ini menggambarkan keperdulian beliau akan seni dan budaya ..
ketiga, jawabanku juga IYA !!
keempat, ditunggu sambungannya ? :)


Bang Uncu Natsir
Kalimat terakhir Mas Tarno sangat menarik buat saya, sejarah telah membuktikan bahwa Festival Teater yang sudah ada sejak 39 tahun lalu itu telah menelorkan banyak anak muda yang menjadi "orang" di berbagai lini kehidupan masyarakat, kemarin dan hari ini. Hanya saja mungkin tidak atau belum terdata dengan baik. Saya sangat merasakan "pendidikan kawah candra dimuka" di teater punya andil besar dalam perjalanan saya yang cuma bisa jadi anggota DPRRI dulu. Masih banyak yg lebih sukses.... Terima kasih dunia teater, khususnya Festival Teater di Jakarta..


entah kenapa...sejak saya mulai belajar mengenal kesenian sampe sekarang (masih merasa baru belajar)......saya tidak pernah merasa nyaman dengan sistem peringkat atau ranking dalam sebuah festival kesenian......krn penilaiannya pasti plus minus. Pertanyaannya kesenian seperti apakah yang dikatakan layak mendapatkan peringkat????? duhhh tiba2 saja saya mau ke Istora Senayan nonton pancalomba.


Agung Waskito
Baru tahu saya kalau FTJ sudah 39 tahun. Dulu saya sebagai wong Yogya mengamati FTJ sebagai festival calon pekerja kesenian terkenal. Rasanya pengin menggarap salah satu grup peserta FTJ, tapi keinginan itu saya simpan saja. Toh itu keberuntungan teman2 teater di Jakarta. Salam dan sukses selalu!


Sutarno Sk
hehehe..benar juga ADM.. memang sebenarnya dengan tidak mengurangi hormat saya kepada grup teater yang sedang berlomba di FTJ, sesungguhnya buat saya FTJ adalah pembelajaran itu sendiri mengantar kan kita kepada satu sikap untuk berani memilih, ikutan atau tidak, kemudian kita mau berlanjut tidak sebagai insan teater setelah menang atau belum menang, setelah merasa selesai atau belum selesai mengikutinya sebagai peserta lomba.

Untuk AW, boleh kok nggak ada yang melarang. Kenapa tidak dicoba. bebas asal tertib mengikuti aturan mainnya.. FTJ tertib kok ada kepanitiaannya, pakai pendaftaran terserah mau di wilayah pusat, utara, timur, barat atau selatan ?.. monggo.


Ade Way
beda R dan J aja pak,..hew


'Arrie De Marco'
hahahaha bagaimana kalau kita nonton bola saja....masuk atau tidak masuknya bola kegawang atau menang atau kalahnya sebuah tim ditentukan oleh soliditas/sportifitas pemain. Wasit hanya berfungsi sebagaimana kewasitannya....demikian juga dengan hakim garis.....; hm bisakah juri/wasit sebuah festival bersikap sebagaimana wasit sepakbola???

Ade Way
Dilematis, relatif, n gabisa ditebak mas A'rrie 'Arrie De Marco ....enakx nonton bola kitat boleh teriak kenceng2...nek teater nonton sambil teriak?hmmm.


'Arrie De Marco'
hahahaha klo nonton festival kesenian para pemain dan penonton dipaksa untuk mengerti kemana arah keinginan juri/wasitnya hahahahaha



Ade Way
padahal juga sama tujuannya. piala, pengakuan. nek nonton teater pikiran harus mau capek sedikit karena ikut mikir "itu nyritake opo too?" nek bola pikirannya muter2 ikuti bola.ha3....bedanya juga wasite ga bakal ngantuk, nek wasit teater ada peluang untuk tidur pas pementasan.wkwkwkwk


'Arrie De Marco'
jadi sing apike piye????? gimana klo ditukar saja. bikin festival kesenian dilapangan sepakbola dan main bola dipanggung festival kesenian...hladhalaaahhhhh​ marai mumetssss


Ade Way
nek saiki apike sahuur disik.dg tdk mlupkn niat. (bagi yg mnjlnkn puasa c)......btw sy jg spndpt dg anda.sistem ranking,juara dlm ksenian.berbahaya jk seni diranking.jd ga jujur...lha pinginx berjuara bkn berseni ria.capek ddeewwhhh.wkwkwkk


Sutarno Sk
Saya pada awalnya cuma ingin jadi orang teater dan berproduksi teater, itu saja. Teater saya miskin nggak bisa sewa gedung, ada teman yang mengimingi tempat untuk pentas tapi gagal atau nggak jadi, kemudian saya manfaatkan sarana FTR untuk pentas atau memamerkan teman-teman saya yang sudah latihan sekian lama. Jadi saya tidak pusing cari tempat atau gedung untuk pentas, sekaligus sudah ada penontonnya. Faktor juri saya anggap biasa saja, tidak saya istimewakan. Seperti pada pagelaran kesenian lainnya,penonton mempunyai hak untuk mengomentari atau sebagai juri pada dirinya sendiri.. Hehehe.


Ade Way
begitulah enaknya jadi penonton pak. Tinggal teriak jika ada yang "nggak banget" .meneriaki aktor2 panggung teater bangsa Indonesia di gedung DPR...hehehee


Sutarno Sk
Itu pengertian yang luas saya setuju, tapi yang saya kerjakan sebagai sutradara dan sebagai pimpinan grup membuat pementasan kesenian yang namanya teater, bung.. Kalau ada beberapa teman yang mengatakan bahwa kehidupan ini adalah panggung teater atau panggung sandiwara secaqra pemikiran atau filsafat saya setuju banget, sekali lagi yang di produksi penggiat teater, tari dan kesenian lainnya, ya berproduksi kesenian.

.
'Arrie De Marco'
peristiwa teater hanya memindahkan sebagian dari sekian banyak peristiwa kehidupan kesebuah panggung....ada yg nonton ya syukur gak ada yg nonton setidaknya pemain dan pendukung peristiwa teater itulah penontonnnya...jadi????? adalah hal yg absurd banget klo bermain teater hanya berharap ditonton......jika demikian dimanakah posisi sebh event/festival?????.......​ .untuk dinilai?? dikenal??? masuk koran???? dlsbnya????? so??? bisakah dikatakan bhw teater itu bukan pada pertunjukkannya tapi pada makna yg didapatkan dr hasil pertunjukkannya????? hladhalaahhhh malah semakin bingung


Sutarno SK
Anda disini sudah menukik pada pemikiran menuju makna yang sangat dalam , Oke saya seteju.. Tapi dalam hal ini saya sedang membicarakan sejarah tentang FTR menjadi FTJ yang sudah berjalan 39 tahun.. ada orang yang seperti sampean teater sebgai upacara tapi ada juga orang berteater mempunyai keinginan yang berbeda-beda. Ini menurut saya sah-sah saja dengan berpegangan pada poros kebenarannya masing-masing pula. Tapi menurut saya apa pun namanya kesenian perlu ada orang lain yang menikmatinya. kalau ada orang yang tidak perlu orang lain, ya sudah berteater dalam hati sendiri saja, melukis dalam hati saja, menari dalam hati saja,dan beristri dalam hati saja atau onani.. meski pementasan itu di tonton ( dinikmati oleh pemainnya sendiri) di sana dengan sendirinya tetap saja sudah ada lembaga pemain dan penonoton, mungkin nsaja dua tugas itu hanya di lakukan oleh satu orang atau dengan orang yang sama..
kemana ya teman-teman yang lain kok cuma kita berdua yang asyik.. heheheheee..


'Arrie De Marco'
hahahaha saya yakin yang lain pada baca.....cuma ragu utk ikut berkomentar takut ada yang tersinggung hahahahha tersinggunglah kau sebelum kutersinggungkan hahahahha...saya teringat dengan bincang2 ringan dengan alm. Mas Aji 2 minggu seblm beliau berpulang (diWapres)....waktu itu saya katakan; "untuk apa ada kompetisi? sementara kompetensi warga teater hanya sebatas ingin manggung saja!".....beliau jawab; "masalahnya berteater di Indonesia hanya sebatas musim (jika panas ya panas, jika hujan ya hujan...jika kemarau ya kemarau)...saya tertawa ngakak ketika beliau mengatakan hal itu......sambil berfikir sejenak........teater Indonesia mau kemana ya???? tiba2 saja seorang kawan nyeletuk yg kebetulan mendengar bincang2 itu; "teater Indonesia sedang keteteran!".....wah! saya nyahut; "mungkin lagi masuk angin"..duhhhh!


Sutarno Sk
kemudian sampai kepada bila berkomukasi atau sampai kepada sebuah silahturahmi kita tidak bisa lepas dari sebuah penilain atau kementar atau pendapat orang lain terhadap diri kita, atau kita terhadap diri orang lain. Meskipun dalam hati at...


'Arrie De Marco'
saya lebih setuju jika dikatakan bhw pergerakan berteater antara yg satu dengan yang lainnya sebagai ajang silaturahmi......sikap saya yang lain adalah; "Saya Tetap Menolak Dengan Tegas Sistem Penjurian dengan menetapkan Ranking Pada Peserta yang ikut festival berkesenian.....hal ini sama juga sikap saya terhadap penjurian Lomba Menulis Puisi dlsbnya".......sikap saya jelas juga terhadap sebh event sastra yang diadakan di Bali baru2 ini..

Sutarno Sk
Saya juga dengan tegas setuju dengan sikap anda, sebagaimana saya setuju dengan orang lain yang berkeinginan lain.. Mungkin saya pada sebuah taman yang tumbuh dangan bemacam bunga, indah rasanya.. Apa lagi bunga itu berbentuk dan berbuah pemikira-pemikiran yang cerdas, dan tak fanatik..

'Arrie De Marco'
saya setuju dengan komentar anda wkkwkkwk

(SELANJUTNYA)


Shri Lalu Gde Pharne
suatu artikel yang sangat bermanfaat.. apalagi kalau bisa kita dorong agar setiap propinsi melakukan hal yang sama, adanay festival teater tingkat propinsi yang merupakan hasil dari tingkat kab/kota dalam propinsi masing-masing.. Pertanyaan berikutnya, apakah FTJ sebagai sulung dari festival teater, berkenan menyelenggarakan Festival Teater Remaja tingkat Nasional..(?)


Sutarno Sk
mungkin kepanitiaannya bisa di lemparkan tingkat pemerintah RI pusat, kalau kapasitas kwalitasnya tingkat nasional.


Shri Lalu Gde Pharne
ya benar demikian, tapi bagaimanakah kita bisa menyerahkan kepada pihak nasional, kalau yang disebut nasional itupun tak pernah punya pengalaman melaksanakan Festival Teater Remaja sebaik DKI ini


Pino Teyeng
Bagus dan sae pak apalagi diadakan lomba teater antar sekolah misalnya sma,smp dan sd. Dapat memajukan kreatifitas seni sejak kecil. Buat mengisi hari luang


Andhikara Ikhwandie
setuju ... biar lebih bijaksana dlm kepanitiannya di tingkat nasional:)


Shri Lalu Gde Pharne
Sepakat sekali, apalagi kalau kelompok2 teater yang pernah jadi pemenang dalam FTJ seperti teater kail, el na'ma, dlsb, berkenan membantu secara teknis penyelenggaraan Festival Teater Remaja di propinsi lainnya.


Sutarno Sk
Bisa diatur, nanti juga banyak teman yang mau membantu..