Rasanya, istilah Generasi Penerus ini selalu dipakai, baik pada ukuran komunitas kecil maupun untuk ukuran suatu bangsa. Satu keluarga, sepasang suami istri juga berharap akan segera datang sosok ‘momongan’ yang akan meneruskan keturunan mereka, meneruskan cita-cita, meneruskan keamanan kenyamanan hidup berkeluarga, meneruskan nama baik keluarga. Sang’momongan’ mereka sebut juga sebagai Generasi Penerus. Sekecil apa pun harapan itu, dia akan jadi pengharapan..
Saat memulai berumah tangga, sepasang suami istri yang berencana baik, jarang sekali sudah memikirkan akan bercerai sejak awal dan tak memperhitungkan akan adanya anak sebagai keturunan yang harus dipertanggungjawabkan pertumbuhannya. Keluarga baru itu bahkan dibekali nasihat-nasihat tentang bayangan masa depan cerah atau masa depan suram.
Generasi Penerus suatu bangsa yang sebagai Pengharapan adalah anak bangsa, sering disebut juga Pemuda Bangsa, Harapan Bangsa, Tunas Bangsa yang kelak akan menjadi tumpuan harapan bangsa. Sekecil apa pun harapan itu, dia akan jadi Pengharapan
Menurut saya, tak jauh bedanya dengan Masa Depan Cerah atau Masa Depan Suram dari satu kehidupan bernegara berbangsa. Untuk hidup per individu, tidak sedikit dari satu bangsa yang melalui kehidupannya tanpa gelisah memikirkan ke pandangan jauh ke depan secara berbangsa. Lebih banyak memperhitungkan untuk kenyamanan kehidupan keluarga kecil dibanding mereka yang ikut memikirkan sejahteranya hidup bernegara berbangsa.
Semasa penjajahan Belanda dan Jepang, persentase yang ikut memikirkan masa depan bernegara berbangsa mungkin lebih banyak ketimbang jumlah masyarakat yang sekarang ikut memikirkan masa depan bernegara berbangsa di negeri Indonesia kita ini.
Misalnya, jika melihat rekaman gambar atau ikut merasakan melalui catatan-catatan pesan sastra dari masa lalu tersebut, terasa debaran jantung wajah pucat pias dari ketakutan masyarakatnya, dan ini sangat berbeda dengan gambaran kenyataan masa kekinian. Kini, sangat terpisah antara mereka yang mati kelaparan dengan mereka yang mati kekenyangan.
Pemandangan dua bayangan masa depan saat penjajahan sangat nyata di mata para Anak Bangsa pada masa itu. Dan dengan sekuat tenaga para Pemuda Bangsa sebagai Tunas Bangsa mencoba memilih satu jalan dari dua jalan bayangan masa depan bangsanya, yakni jalan menuju masa kemerdekaan bernegara berbangsa. Dan mereka menyatukan menyeragamkan bahasa hati itu, yakni kemerdekaan bernegara berbangsa dan berbahasa Indonesia. Dan berhasil.
Tapi mengapa harus menyebut mereka yang tajam pandangannya itu adalah Pemuda? Anak Muda atau Tunas Bangsa?
Ya. Karena mereka yang masih mempunyai pandangan tajam adalah manusia berusia produktif yang masih mempunyai kesegaran jasmani, yang lengkap dengan kadar emosional dan keberanian bergerak maju, cepat tepat, siap menginginkan dan memasuki masa perubahan baik secara rohani maupun jasmani dengan nilai moral yang tinggi. Sejarah mencatat di seantero dunia, para pemudalah yang selalu menjadi pandu, perintis atau pelopor perubahan jamannya. Maka pantaslah, para pemuda dijadikan tunas bangsa dan pantas dipupuk suburkan.
Membaca dan mempelajari banyak catatan di era ini, apakah terasa oleh kita, banyak wajah yang ketakutan dan pucat pias? Apakah kita masih mau bernegara berbangsa dan kompak menyatukan bahasa hati dengan bahasa Indonesia dan memerlukan mereka, para pemuda yang mempunyai Pandangan Mata yang Tajam mmemandang jalan ke masa depan yang cerah?
Tapi, apa kata mereka yang pernah menjadi Pemuda masa lalu dan apa pula kata mereka yang menyandang peran Pemuda masa kini mengomentari sejarah yang sedang berjalan ini?
Kami, Teater Kail, mengajak 28 penyair dari mereka (ANDA) untuk mencatatnya dalam pesan sastra puisi. Puisi ini akan dibukukan untuk hadiah hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2012
Kirimkanlah 5 (LIMA) puisi anda ke email : teater_kail@yahoo.co.id paling lambat Rabu 10 Oktober 2012