BILA CINTA TAK SAMPAI

BILA CINTA TAK SAMPAI
sett dekor luncur BCTS

Jumat, 14 September 2012

PEMUDA, GENERASI PENERUS


Rasanya, istilah Generasi Penerus ini selalu dipakai, baik pada ukuran komunitas kecil maupun untuk ukuran suatu bangsa. Satu keluarga, sepasang suami istri juga berharap akan segera datang sosok ‘momongan’  yang akan meneruskan keturunan mereka, meneruskan cita-cita, meneruskan keamanan kenyamanan hidup berkeluarga, meneruskan nama baik keluarga. Sang’momongan’ mereka sebut juga sebagai Generasi Penerus. Sekecil apa pun harapan itu, dia akan jadi pengharapan..

Saat memulai berumah tangga, sepasang suami istri yang berencana baik, jarang sekali sudah memikirkan akan bercerai sejak awal dan tak memperhitungkan akan adanya anak sebagai keturunan yang harus dipertanggungjawabkan pertumbuhannya. Keluarga baru itu bahkan dibekali nasihat-nasihat tentang bayangan masa depan cerah atau masa depan suram.

Generasi Penerus suatu bangsa yang sebagai Pengharapan adalah anak bangsa, sering disebut juga Pemuda Bangsa, Harapan Bangsa, Tunas Bangsa yang kelak akan menjadi tumpuan harapan bangsa. Sekecil apa pun harapan itu, dia akan jadi Pengharapan

Menurut saya, tak jauh bedanya dengan Masa Depan Cerah atau Masa Depan Suram dari satu kehidupan bernegara berbangsa. Untuk hidup per individu, tidak sedikit dari satu bangsa yang melalui kehidupannya tanpa gelisah memikirkan ke pandangan jauh ke depan secara berbangsa. Lebih banyak memperhitungkan untuk kenyamanan kehidupan keluarga kecil dibanding mereka yang ikut memikirkan sejahteranya hidup bernegara berbangsa.

Semasa penjajahan Belanda dan Jepang, persentase yang ikut memikirkan masa depan bernegara berbangsa mungkin lebih banyak ketimbang jumlah masyarakat  yang sekarang ikut memikirkan masa depan bernegara berbangsa di negeri Indonesia kita ini.

Misalnya, jika melihat rekaman gambar atau ikut merasakan melalui catatan-catatan pesan sastra dari masa lalu tersebut, terasa debaran jantung wajah pucat pias dari ketakutan masyarakatnya, dan ini sangat berbeda dengan gambaran kenyataan masa kekinian. Kini, sangat terpisah antara mereka yang mati kelaparan dengan mereka yang mati kekenyangan.

Pemandangan dua bayangan masa depan saat penjajahan sangat nyata di mata para Anak  Bangsa pada masa itu. Dan dengan sekuat tenaga para Pemuda Bangsa sebagai Tunas Bangsa mencoba memilih satu jalan dari dua jalan bayangan masa depan bangsanya, yakni jalan menuju masa kemerdekaan bernegara berbangsa. Dan mereka menyatukan menyeragamkan bahasa hati itu, yakni kemerdekaan bernegara berbangsa dan berbahasa Indonesia. Dan berhasil.

Tapi mengapa harus menyebut mereka yang tajam pandangannya itu adalah Pemuda? Anak Muda atau Tunas Bangsa?

Ya. Karena mereka yang masih mempunyai pandangan tajam adalah manusia berusia produktif yang masih mempunyai kesegaran jasmani, yang lengkap dengan kadar emosional dan keberanian bergerak maju, cepat tepat, siap menginginkan dan memasuki masa perubahan baik secara rohani maupun jasmani dengan nilai moral yang tinggi. Sejarah mencatat di seantero dunia, para pemudalah yang selalu menjadi pandu, perintis atau pelopor  perubahan jamannya. Maka pantaslah, para pemuda dijadikan tunas bangsa dan pantas dipupuk suburkan.

Membaca dan mempelajari banyak catatan di era ini, apakah terasa oleh kita, banyak wajah yang ketakutan dan pucat pias? Apakah kita masih mau bernegara berbangsa dan kompak menyatukan bahasa hati dengan bahasa Indonesia dan memerlukan mereka, para pemuda yang mempunyai Pandangan Mata yang Tajam mmemandang jalan ke masa depan yang cerah?

Tapi, apa kata mereka yang pernah menjadi Pemuda masa lalu dan apa pula kata mereka yang menyandang peran Pemuda masa kini mengomentari sejarah yang sedang berjalan ini?

Kami, Teater Kail, mengajak 28 penyair dari mereka (ANDA) untuk mencatatnya dalam pesan sastra puisi. Puisi ini akan dibukukan untuk hadiah hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2012

Kirimkanlah 5 (LIMA) puisi anda ke email : teater_kail@yahoo.co.id paling lambat  Rabu 10 Oktober 2012


Dari Catatan April 2012


Pentas Foto

Saya pernah memikirkan tentang unsur bunyi pada Surat-Surat dalam kitab Al Qur'an. Yang dari sana para penyair, pedendang mendapat inspirasi, menulis dan melantunkan karangan berbentuk pantun, talibun, gurindam, dan sebagainya. Unsur bunyi, kata demi kata, ayat demi ayat yang berbunyi menerangkan secara jelas berkronologi. 

Setelah Rasullullah wafat, Para Jenius, menyusun ayat demi ayat, surat demi surat dengan berbagai alasan, batasan, kriteria, kesamaan, kemiripan, yang ada saja yang bersangkut dari satu ke yang lainnya, akhirnya membentuk Kitab yang paten. Ada yang berujung bunyi senada, ada juga yang tidak sama di penghujungnya, saya sebut saja berpelangi, tetapi tetap cantik. Apalagi kalau pandai membacakan, terasa koma titiknya, sampailah ke tujuan. Sampailah maksud dan tujuan Para Jenius menyusun ayat-ayat Allah tentang Allah dan ciptaanNya kepada kita. (tentu saja semua itu juga dibimbing oleh Allah)

Tetapi pernahkah kita membayangkan, seandainya Para Sahabat Nabi Muhammad SAW, bukanlah manusia-manusia jenius yang mampu menghafal atau mencatat? Apa yang terjadi?

Mungkin juga proses penyusunan oleh para Jenius milik Nabi Muhammad tidak terlalu mulus. Mungkin terjadi interogasi berulang-ulang memastikan hafalan dan kesaksian. Mungkin yang menginterogasi bermacam karakter, ada penyabar, ada pemarah, demikian juga Tokoh yang menghafalkan, sempat kesal, marah, sedih merasa kurang dipercaya karena diminta mengulang-ulang lalu berhenti. Mungkin Al Qur'an tak sampai ke tangan kita barangkali.

Demikianlah, perenungan saya tentang pekerjaan aktor teater dan aktor film bersama seorang sutradara teater atau sutradara film. Apakah yang terjadi jika sutradara menghadapi para aktor teater atau aktor film yang lamban penangkapannya, yang tidak jenius? Mungkin proses latihan naskah teater tersebut tak pernah selesai dan tak pernah sampai kepada target keartistikan sang sutradara, maka bisa jadi naskah tak pernah dipentaskan. Sekali pun dipentaskan, yang menyaksikan pentas itu tentu akan "sakit gigi". 

Atau pada proses pengambilan gambar film akan mengalami break, aktornya ngambek, atau sutradaranya memaki-maki crew bahkan produser yang menggajinya. Atau pengambilan dilakukan sampai tuntas tetapi film tak pernah ditayangkan karena film tersebut tidak lolos gerbang cek n recek.  Tidak layak tayang.

Juga kalau kita melihat dari sisi aktor, aktor yang sudah kawakan banyak mengunyah asam garam pemeranan mendapat nasib malang berhadapan dengan sutradara loyo, apa yang terjadi? Sutradara rajin tetapi tak punya gagasan, atau sutradara kaya gagasan tetapi menyebalkan, dan banyak lagi kendala-kendala lapangan. Mungkin kalau bukan karena perjanjian kontrak kerja menyangkut hukum sebab dan akibat, sutradara bermasalah itu sudah ditinggalkan aktor-aktornya atau sebaliknya.

Pendek kata, untuk menghasilkan yang memuaskan setiap kerja sangat membutuhkan kesungguhan, kerja sama, saling mengerti dan bahkan berusaha sekuat-kuatnya untuk saling memahami antara ke dua belah pihak. Jika tidak, matilah pasukan sebelum berperang. Ini akan sangat menyulitkan banyak orang. Terutama pihak Produser yang sudah mengeluarkan modal serta pula mempublikasikan proyeknya ke delapan penjuru angin dan ditungggu oleh konsumen.

Sungguh, saya baru saja mencoba memahami arti dari kata seperti, Editor juga Kurator. Yang selama ini, saya hanya mengerti seorang Editor hanya memeriksa kata yang berhuruf salah, atau pemakaian kata yang salah, tetapi ternyata seorang Editor pada sebuah penerbitan majalah bertanggungjawab pada keutuhan isi majalah tersebut sesuai dengan visi. Editor pada suntingan film, menyambung tiap adegan agar film berjalan sesuai dengan cerita.

Sementara seorang Kurator pada sebuah pameran seni rupa semisal pada pameran lukisan atau pameran foto  hanya berfungsi memilih-milih lukisan atau foto yang akan dipamerkan, yang saya kira, ternyata salah. Ternyata Kurator juga bertindak seperti seorang sutradara teater atau sutradara film. Pendekatan karakter pada manusia sebagai pengkarya juga dilakukan selain meneliti karakter lukisan atau foto.

Sebagaimana proses kerja pada persiapan pentas teater atau pengambilan gambar pada kerja produksi film, Kurator, perlu melakukan pendekatan kepada senimannya, kemudian kepada karyanya. Pada pameran seni rupa, naskah berbentuk tema tetap diperlukan sebagai tiang atau acuan maksud dan tujuan pameran. Sehingga akan terbentuk benang merah yang mengikat satu karya ke karya yang lain dan menyuguhkan pameran yang mempunyai pesan.

Ternyata proses pengkurasian, nyaris sama dengan proses latihan teater atau film. Apa yang ditangkap oleh sutradara pada proses latihan pada persiapan teater atau pengambilan gambar pada film, jika belum tepat sesuai dengan takaran yang tepat, sutradara perlu dan berhak memperbaiki dengan cara menganjurkannya, dan hal ini tentu saja terjadi pada latihan teater dan film. Begitu pula, saat Kurator melihat sebuah karya yang akan dipamerkan, beranggapan karya itu termasuk dalam tema pameran, karya itu akan dimasukkan kemudian dianjurkan untuk menambah atau mengurangi aksen-aksen karya seni rupa tersebut jika perlu.

Tak kurang kejeliannya, Kurator juga bertugas menyemangati seniman untuk lebih berkarakter dalam  berkarya agar karya-karya mempunyai kesinambungan dari satu ke karya yang lain.

Lebih unik lagi, jika mengkurasi pameran bersama beberapa orang dengan beberapa karya.  Kurator harus tegas, layaknya sutradara teater atau film. Sutradara yang berhasil membuat karya yang keren, biasanya agak bawel dan kejam, seperti tidak menghormati kebebasan berkesenian atau berekspresi. Sebagaimana sutradara yang terus menerus menuntut perbaikan aktornya jika mengucapkan kata atau kalimat yang masih kurang tepat sesuai dengan keutuhan cerita, yang biasanya menyangkut takaran emosi, diksi, artikulasi dan lainnya, seorang Kurator juga berhak memberi saran kepada seniman yang dikurasikannya untuk selalu memperbaiki karyanya agar tidak “cemplang” diantara karya lainnya. Benda seni rupa bagi senirupawan adalah sebuah ekspresi seni yang sama dengan seni pemeranan bagi seorang pemeran.


Sebuah pameran memerlukan Kurator yang rajin, cekatan, jenius serta kaya gagasan dan bukan sekedar menasihati selain kehadiran aktor-aktor yang berenerji setingkat yang mampu membaca tema., sebagaimana seorang sutradara bersama aktor-aktor yang handal.

Sungguh, saya baru “engeh” setelah bersiap memasuki era Pameran Foto Bersama “baca merah putih”


 teater kail /NT