BILA CINTA TAK SAMPAI

BILA CINTA TAK SAMPAI
sett dekor luncur BCTS

Sabtu, 28 April 2012

Menyentuh Tulang Rusuk

Ya sudahlah, kalau memang isi dunia ini bermacam ragam. Ketika dua himpunan yakni Siang dan Malam akan dibiarkan begitu saja terduduk, mungkin saja akan lebih condong pada kepastian, bahwa akan ada susulan pertanyaan tentang waktu yang lebih otentik, tepatnya kapan dan lain sebagainya.Malam jam berapa, waktu itu terang atau mendung, pukul berapa lewat berapa, dan sebagainya.

Isi dunia memang tidak satu warna, bukan satu bentuk, tak pula mati. Selalu bergerak, saling mempengaruhi, termasuk kekuatan pikiran seseorang mampu menjajah pikiran manusia lain dan dengan berani memajukan hasil-hasil pikiran dan pembuktian-pembuktian yang mendukung pikiran utamanya. Itu pun, tidak mati. Dari sana akan muncul lagi persetujuan yang meyakinkan dengan bukti-bukti pula. Tak kurang, perlawanan yang menolak argumentasi pun bertabrakan.

Seorang Kak Seto tentu juga punya lawan jika berbicara tentang perkembangan jiwa anak. Kubu-kubu saling mempengaruhi dan menolak tentang bagaimana menghadapi anak. Ada pendapat, orang tua harus menjaga ketat anaknya, tetapi ada juga yang membiarkan anak mengembangkan kepribadiannya. Ada yang bersikap halus lembut dan ada juga yang sangat tegas. Kesemuanya tentu akan menghasilkan karakter yang beragam pada anak-anak se-generasi. Persoalannya, sikap yang bagaimanakah yang betul, yang baik yang pantas diberikan kepada anak, agar  terbentuk karakter generasi penerus bangsa yang kuat.

Ayah lebih suka membiarkan anaknya bergerak bebas, akan membiarkan anaknya membongkar apa saja, dan menjadi pengetahuan bagi sang anak. Sedangkan Ibu lebih memilih anak digendong dalam kain gendongan agar tidak berlarian mengacak-acak tombol listrik, tak menghunus pisau dan lainnya. Tentu saja antara Ayah dan Ibu selalu terjadi perdebatan dengan masing-masing argumentasi.

Menurut Ayah, saat anak jatuh dari anak tangga yang tinggi adalah sebuah pelajaran sedangkan menurut Ibu, itu adalah sebuah kecelakaan yang membahayakan. Ayah akan memuji anak yang tercelakakan, Ibu mengutuknya. Ibu hanya mau memuji anak yang kalem, penurut, tidak melawan, Ayah menyayangkan sikap 'apatis' dari anak yang menurut Ibu adalah kesabaran.

Kesalahan yang menurut Ibu adalah sebagai kerugian, buat Ayah kerugian itu memang harus dikeluarkan sebagai modal pengembangan ilmu. Siapakah yang benar jika kita harus menilai?


 Pikiran-pikiran ini datang setelah menyaksikan pertunjukan teater dari beberapa mahasiswa di sebuah kampus. Hal ini sebenarnya juga bukanlah hal yang baru. Kita atau kami, telah beberapa kali menyaksikan hal serupa. Saat bercengkrama bersama seniman tua dan agak tua, kami setuju mengatakan dengan desis, bahwa itu adalah nomer-nomer latihan awal kami dahulu, dan kami tak pernah mengatakan bahwa nomer-nomer itu pernah ksmi tampilkan sebagai nomer pertunjukan juga, layaknya seperti yang baru saja kami tonton. Kami lupa kalau kami pernah melakukan pentas serupa. dan bangga pula pada waktu itu. Kami sebut pentas kami itu adalah hasil Improvisasi. Sebuah pentas dadakan atas undangan panitia acara, entah di mana saja. Itu memang pentas 'latihan pentas'.

Kami berdebat tentang perlunya atau kesia-siaannya sebuah pentas semacam itu. Pentas teater yang mentah, yang setengah matang, yang belum matang benar, yang matang dan matang sekali, bahkan pentas "kematengan" pun dibicarakan di ruang publik tempat angkringan.











Filosofi Cinta Rabi’ah Al Adawiyah di Panggung Teater

Dari :
Situs jafar's (setelah sedikit diralat)

Jakarta, Sinar Harapan
Selama ini kita lebih mengenal sajak-sajak cinta karya Khalil Gibran dan May Ziadah. Padahal, dalam kesusasteraan Indonesia dari abad ke-16, ada nama Hamzah Fansuri dan Rabiah Al Adawiyah yang karyanya tak kalah besar. Di Gedung Kesenian Jakarta, Sabtu (27/12), kumpulan sajak karya Rabiah yang berjudul Love Undererasure (Cinta di Bawah Karet Penghapus) akan dibacakan. 


Diproduksi Teater Kail sutradara Sutarno SK, pementasan akan dilakukan oleh para tokoh dari beragam latar belakang dimensi seni antara lain Dewi Yull, Jajang C. Noer, Ria Irawan, Jose Rizal Manua, Nani Tandjung. Pertunjukan yang disutradarai oleh Sutarno SK ini juga akan didukung oleh para seniman yang dikenal cukup intens yaitu mulai dari Ratih Sanggarwati sebagai costum advisor,  Tommy F. Alim sebagai penata artistik dan Burung Hud-hud.  Remmy Novaris DM dan Nuruddin Asyhadie sebagai penyusun naskah dan Hamzah Fansuri, Istiadi SE, Irmansyah serta H, Dwi Bagus MB


Love Underasure berkisah tentang cinta yang terhapus dan menghapus. Latar dari kalimat sederhana tetapi dalam ketika mengedepankan fakta bahwa cinta sering melukai manusia, membuat patah hati, bahkan membunuh kekasihnya atau keluarga yang sedarah dengannya maupun kekerasan antarkomunal. Bahkan, atas nama cinta terhadap nilai yang dijunjung tinggi baik berupa agama atau Tuhan, manusia bahkan bisa saling berperang, meledakkan bom dan melakukan genocide.


Dalam kumpulan sajak ini, dipertanyakan kembali apa makna dari cinta, lewat penelusuran kembali cinta yang ada di syair seorang Hamzah Fansuri, penyair dari Barus yang memperkenalkan bentuk pantun pertama dalam kesusastraan Melayu, dan Rabiah Al Adawiyah, perempuan suci dari Basrah yang amat terkenal dalam khasanah sufistik.

Dikemas Naratif
Dalam pemanggungan, tetap menggunakan performance poetry, sajak-sajak ini memang tak hanya digelar dalam bentuk pembacaan saja, tetapi juga dikemas dalam narasi pengembaraan ulang-alik ruang dan waktu.


Kisahnya, seorang presenter Love Love Love, sebuah program talk show di Love TV, mendapat kiriman e-mail Test Kepribadian Dalai Lama dari temannya. Tes tersebut menjanjikan bahwa dalam 96 jam, mantra akan keluar dari tangannya, dan sebuah keajaiban pun akan terjadi dalam kehidupannya, jika hal itu dapat dilaksanakan dengan benar. Ni Rina yang mulanya tak percaya, iseng juga untuk mengisinya.


Maka, setelah melakukan itu, keajaiban pun terjadi. Di hari favoritnya itu, Tuhan akhirnya mengirimkan Hamzah Fansuri kepadanya untuk memberikan sebuah karet penghapus, benda yang sebelumnya telah dihadiahkan oleh Rabi’ah kepada Hamzah. Namun, Hamzah tak juga dapat memikirkan rahasia di baliknya. Sebab, ia tak tahu benda apakah itu gerangan.
Dari pertemuan itu, dari masuknya Hamzah ke dunia sekarang yang hiruk-pikuk, serta merunut bagaimana segala keajaiban itu dapat terjadi; kegelisahan spiritual Hamzah, pertemuannya dengan Hud-Hud yang membawanya menemui Rabi’ah dan peristiwa ketika ia sedang memikirkan hakikat karet penghapus itu hingga terlelap. Dalam lelap itu, ia mendengar suara Tuhan untuk menemui sang presenter dan memberikan benda itu kepadanya, maka akhirnya keduanya sadar bahwa selama ini manusia tak pernah mencintai apa pun selain dirinya sendiri. Cinta mereka dipenuhi hasrat-hasrat kekuasaan dan narsisisme. dalam ekstase akhirnya ditemukan pencerahan berupa lenyapnya keinginan untuk menguasai dan memiliki objek yang dicintai, bukan dalam struktur yang menyisakan keakuan, tapi implikasi dari totalitarianisme, yaitu berupa ketiadaan. Sebab, hakikat diri sebenarnya juga adalah ketiadaan. (srs)