BILA CINTA TAK SAMPAI

BILA CINTA TAK SAMPAI
sett dekor luncur BCTS

Minggu, 18 November 2012

IODI Kabupaten Bekasi, Semarakkan Acara Pameran Foto dan Peluncuran Buku Baca Merah Putih

Tanggal 9 Agustus 2012 kemarin, Teater Kail bekerja sama dengan Jak Art A, mengadakan Pameran Foto Grafis dan meluncurkan Antologi Puisi bersama Baca Merah Putih, di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki Jakarta yang dibuka oleh Ratna Sarumpaet.

Sebanyak 17 Fotografer memamerkan karyanya, antara lain, Mickay Koegh dari Teater Kail, Ariek Wartono dari Surabaya, Tommy Faisal Alim dari Bogor, dan lainnya. Dan 17 Penulis Puisi mengisi Antologi Puisi Baca Merah Putih, tercatat, Sri Tedjawati, Lawyer dari Jakarta, Faisal Basri, Ekonom mantan Cagub DKI Jakarta dari Jakarta, Euis Herni, Guru SMA dari Subang, Ratna Dewi barrie, Dokter di RSUPD Lampung, Sutarno SK dari Teater Kail, Asrizal Nur dari Depok, dan lainnya.

Selain Leonowens Sp, Sastrawan kaliber dunia dari Indonesia yang rajin mengawal acara tersebut, hadir juga Julien Lanes ex owner Rumah Ngamen Kuta Bali, Kelompok Musik dari Komunitas-Komunitas Under Grond, semisal Ane Matahari, Irmansyah, Bewok, Dowe, Basri, Neo, Julien Lanes dan kelompok IODI (Ikatan Olahraga Dansa Indonesia) Kabupaten Bekasi.

IODI pimpinan Andreny Tc memainkan beberapa step dansanya. Menurut Andreny, Dansa yang sekarang ini mulai dimasukkan sebagai cabang olahraga baru, sudah mulai berkembang, di antaranya di Bantul, kota-kota Jogjakarta, Bandung, Bekasi dan sejak Juni lalu telah diresmikan IODI di Kabupaten Bekasi.

Gerak dansa sebagai cabang olah raga, memang dinilai dari sudut pandang ke-olahraga-an misalnya  pada keregangan otot-otot yang dilatih untuk kesehatan tubuh. Olah raga ini juga mendatangkan kesegaran jiwa dengan iringan musik dansa.




Paling tidak, olah raga pada kesenian dikenal sebagai olah tubuh ini, memungkinkan Dansa hadir pada acara  pameran foto dan gelar sastra.  

Jumat, 14 September 2012

PEMUDA, GENERASI PENERUS


Rasanya, istilah Generasi Penerus ini selalu dipakai, baik pada ukuran komunitas kecil maupun untuk ukuran suatu bangsa. Satu keluarga, sepasang suami istri juga berharap akan segera datang sosok ‘momongan’  yang akan meneruskan keturunan mereka, meneruskan cita-cita, meneruskan keamanan kenyamanan hidup berkeluarga, meneruskan nama baik keluarga. Sang’momongan’ mereka sebut juga sebagai Generasi Penerus. Sekecil apa pun harapan itu, dia akan jadi pengharapan..

Saat memulai berumah tangga, sepasang suami istri yang berencana baik, jarang sekali sudah memikirkan akan bercerai sejak awal dan tak memperhitungkan akan adanya anak sebagai keturunan yang harus dipertanggungjawabkan pertumbuhannya. Keluarga baru itu bahkan dibekali nasihat-nasihat tentang bayangan masa depan cerah atau masa depan suram.

Generasi Penerus suatu bangsa yang sebagai Pengharapan adalah anak bangsa, sering disebut juga Pemuda Bangsa, Harapan Bangsa, Tunas Bangsa yang kelak akan menjadi tumpuan harapan bangsa. Sekecil apa pun harapan itu, dia akan jadi Pengharapan

Menurut saya, tak jauh bedanya dengan Masa Depan Cerah atau Masa Depan Suram dari satu kehidupan bernegara berbangsa. Untuk hidup per individu, tidak sedikit dari satu bangsa yang melalui kehidupannya tanpa gelisah memikirkan ke pandangan jauh ke depan secara berbangsa. Lebih banyak memperhitungkan untuk kenyamanan kehidupan keluarga kecil dibanding mereka yang ikut memikirkan sejahteranya hidup bernegara berbangsa.

Semasa penjajahan Belanda dan Jepang, persentase yang ikut memikirkan masa depan bernegara berbangsa mungkin lebih banyak ketimbang jumlah masyarakat  yang sekarang ikut memikirkan masa depan bernegara berbangsa di negeri Indonesia kita ini.

Misalnya, jika melihat rekaman gambar atau ikut merasakan melalui catatan-catatan pesan sastra dari masa lalu tersebut, terasa debaran jantung wajah pucat pias dari ketakutan masyarakatnya, dan ini sangat berbeda dengan gambaran kenyataan masa kekinian. Kini, sangat terpisah antara mereka yang mati kelaparan dengan mereka yang mati kekenyangan.

Pemandangan dua bayangan masa depan saat penjajahan sangat nyata di mata para Anak  Bangsa pada masa itu. Dan dengan sekuat tenaga para Pemuda Bangsa sebagai Tunas Bangsa mencoba memilih satu jalan dari dua jalan bayangan masa depan bangsanya, yakni jalan menuju masa kemerdekaan bernegara berbangsa. Dan mereka menyatukan menyeragamkan bahasa hati itu, yakni kemerdekaan bernegara berbangsa dan berbahasa Indonesia. Dan berhasil.

Tapi mengapa harus menyebut mereka yang tajam pandangannya itu adalah Pemuda? Anak Muda atau Tunas Bangsa?

Ya. Karena mereka yang masih mempunyai pandangan tajam adalah manusia berusia produktif yang masih mempunyai kesegaran jasmani, yang lengkap dengan kadar emosional dan keberanian bergerak maju, cepat tepat, siap menginginkan dan memasuki masa perubahan baik secara rohani maupun jasmani dengan nilai moral yang tinggi. Sejarah mencatat di seantero dunia, para pemudalah yang selalu menjadi pandu, perintis atau pelopor  perubahan jamannya. Maka pantaslah, para pemuda dijadikan tunas bangsa dan pantas dipupuk suburkan.

Membaca dan mempelajari banyak catatan di era ini, apakah terasa oleh kita, banyak wajah yang ketakutan dan pucat pias? Apakah kita masih mau bernegara berbangsa dan kompak menyatukan bahasa hati dengan bahasa Indonesia dan memerlukan mereka, para pemuda yang mempunyai Pandangan Mata yang Tajam mmemandang jalan ke masa depan yang cerah?

Tapi, apa kata mereka yang pernah menjadi Pemuda masa lalu dan apa pula kata mereka yang menyandang peran Pemuda masa kini mengomentari sejarah yang sedang berjalan ini?

Kami, Teater Kail, mengajak 28 penyair dari mereka (ANDA) untuk mencatatnya dalam pesan sastra puisi. Puisi ini akan dibukukan untuk hadiah hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2012

Kirimkanlah 5 (LIMA) puisi anda ke email : teater_kail@yahoo.co.id paling lambat  Rabu 10 Oktober 2012


Dari Catatan April 2012


Pentas Foto

Saya pernah memikirkan tentang unsur bunyi pada Surat-Surat dalam kitab Al Qur'an. Yang dari sana para penyair, pedendang mendapat inspirasi, menulis dan melantunkan karangan berbentuk pantun, talibun, gurindam, dan sebagainya. Unsur bunyi, kata demi kata, ayat demi ayat yang berbunyi menerangkan secara jelas berkronologi. 

Setelah Rasullullah wafat, Para Jenius, menyusun ayat demi ayat, surat demi surat dengan berbagai alasan, batasan, kriteria, kesamaan, kemiripan, yang ada saja yang bersangkut dari satu ke yang lainnya, akhirnya membentuk Kitab yang paten. Ada yang berujung bunyi senada, ada juga yang tidak sama di penghujungnya, saya sebut saja berpelangi, tetapi tetap cantik. Apalagi kalau pandai membacakan, terasa koma titiknya, sampailah ke tujuan. Sampailah maksud dan tujuan Para Jenius menyusun ayat-ayat Allah tentang Allah dan ciptaanNya kepada kita. (tentu saja semua itu juga dibimbing oleh Allah)

Tetapi pernahkah kita membayangkan, seandainya Para Sahabat Nabi Muhammad SAW, bukanlah manusia-manusia jenius yang mampu menghafal atau mencatat? Apa yang terjadi?

Mungkin juga proses penyusunan oleh para Jenius milik Nabi Muhammad tidak terlalu mulus. Mungkin terjadi interogasi berulang-ulang memastikan hafalan dan kesaksian. Mungkin yang menginterogasi bermacam karakter, ada penyabar, ada pemarah, demikian juga Tokoh yang menghafalkan, sempat kesal, marah, sedih merasa kurang dipercaya karena diminta mengulang-ulang lalu berhenti. Mungkin Al Qur'an tak sampai ke tangan kita barangkali.

Demikianlah, perenungan saya tentang pekerjaan aktor teater dan aktor film bersama seorang sutradara teater atau sutradara film. Apakah yang terjadi jika sutradara menghadapi para aktor teater atau aktor film yang lamban penangkapannya, yang tidak jenius? Mungkin proses latihan naskah teater tersebut tak pernah selesai dan tak pernah sampai kepada target keartistikan sang sutradara, maka bisa jadi naskah tak pernah dipentaskan. Sekali pun dipentaskan, yang menyaksikan pentas itu tentu akan "sakit gigi". 

Atau pada proses pengambilan gambar film akan mengalami break, aktornya ngambek, atau sutradaranya memaki-maki crew bahkan produser yang menggajinya. Atau pengambilan dilakukan sampai tuntas tetapi film tak pernah ditayangkan karena film tersebut tidak lolos gerbang cek n recek.  Tidak layak tayang.

Juga kalau kita melihat dari sisi aktor, aktor yang sudah kawakan banyak mengunyah asam garam pemeranan mendapat nasib malang berhadapan dengan sutradara loyo, apa yang terjadi? Sutradara rajin tetapi tak punya gagasan, atau sutradara kaya gagasan tetapi menyebalkan, dan banyak lagi kendala-kendala lapangan. Mungkin kalau bukan karena perjanjian kontrak kerja menyangkut hukum sebab dan akibat, sutradara bermasalah itu sudah ditinggalkan aktor-aktornya atau sebaliknya.

Pendek kata, untuk menghasilkan yang memuaskan setiap kerja sangat membutuhkan kesungguhan, kerja sama, saling mengerti dan bahkan berusaha sekuat-kuatnya untuk saling memahami antara ke dua belah pihak. Jika tidak, matilah pasukan sebelum berperang. Ini akan sangat menyulitkan banyak orang. Terutama pihak Produser yang sudah mengeluarkan modal serta pula mempublikasikan proyeknya ke delapan penjuru angin dan ditungggu oleh konsumen.

Sungguh, saya baru saja mencoba memahami arti dari kata seperti, Editor juga Kurator. Yang selama ini, saya hanya mengerti seorang Editor hanya memeriksa kata yang berhuruf salah, atau pemakaian kata yang salah, tetapi ternyata seorang Editor pada sebuah penerbitan majalah bertanggungjawab pada keutuhan isi majalah tersebut sesuai dengan visi. Editor pada suntingan film, menyambung tiap adegan agar film berjalan sesuai dengan cerita.

Sementara seorang Kurator pada sebuah pameran seni rupa semisal pada pameran lukisan atau pameran foto  hanya berfungsi memilih-milih lukisan atau foto yang akan dipamerkan, yang saya kira, ternyata salah. Ternyata Kurator juga bertindak seperti seorang sutradara teater atau sutradara film. Pendekatan karakter pada manusia sebagai pengkarya juga dilakukan selain meneliti karakter lukisan atau foto.

Sebagaimana proses kerja pada persiapan pentas teater atau pengambilan gambar pada kerja produksi film, Kurator, perlu melakukan pendekatan kepada senimannya, kemudian kepada karyanya. Pada pameran seni rupa, naskah berbentuk tema tetap diperlukan sebagai tiang atau acuan maksud dan tujuan pameran. Sehingga akan terbentuk benang merah yang mengikat satu karya ke karya yang lain dan menyuguhkan pameran yang mempunyai pesan.

Ternyata proses pengkurasian, nyaris sama dengan proses latihan teater atau film. Apa yang ditangkap oleh sutradara pada proses latihan pada persiapan teater atau pengambilan gambar pada film, jika belum tepat sesuai dengan takaran yang tepat, sutradara perlu dan berhak memperbaiki dengan cara menganjurkannya, dan hal ini tentu saja terjadi pada latihan teater dan film. Begitu pula, saat Kurator melihat sebuah karya yang akan dipamerkan, beranggapan karya itu termasuk dalam tema pameran, karya itu akan dimasukkan kemudian dianjurkan untuk menambah atau mengurangi aksen-aksen karya seni rupa tersebut jika perlu.

Tak kurang kejeliannya, Kurator juga bertugas menyemangati seniman untuk lebih berkarakter dalam  berkarya agar karya-karya mempunyai kesinambungan dari satu ke karya yang lain.

Lebih unik lagi, jika mengkurasi pameran bersama beberapa orang dengan beberapa karya.  Kurator harus tegas, layaknya sutradara teater atau film. Sutradara yang berhasil membuat karya yang keren, biasanya agak bawel dan kejam, seperti tidak menghormati kebebasan berkesenian atau berekspresi. Sebagaimana sutradara yang terus menerus menuntut perbaikan aktornya jika mengucapkan kata atau kalimat yang masih kurang tepat sesuai dengan keutuhan cerita, yang biasanya menyangkut takaran emosi, diksi, artikulasi dan lainnya, seorang Kurator juga berhak memberi saran kepada seniman yang dikurasikannya untuk selalu memperbaiki karyanya agar tidak “cemplang” diantara karya lainnya. Benda seni rupa bagi senirupawan adalah sebuah ekspresi seni yang sama dengan seni pemeranan bagi seorang pemeran.


Sebuah pameran memerlukan Kurator yang rajin, cekatan, jenius serta kaya gagasan dan bukan sekedar menasihati selain kehadiran aktor-aktor yang berenerji setingkat yang mampu membaca tema., sebagaimana seorang sutradara bersama aktor-aktor yang handal.

Sungguh, saya baru “engeh” setelah bersiap memasuki era Pameran Foto Bersama “baca merah putih”


 teater kail /NT

Rabu, 15 Agustus 2012

POTRET DINAMIKA KEHIDUPAN MASYARAKAT IBU KOTA

KORAN JAKARTA

Senin, 13 Agustus 2012 | 00:47:37 WIB


Teater Kail menggelar pameran fotografi bertajuk Baca Merah Putih. Pameran dilangsungkan sejak 9 hingga 12 Agustus 2012 di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki.

Tidak sekadar menampilkan gambar-gambar menakjubkan, acara ini diadakan sekaligus sebagai momen peluncuran buku antalogi puisi dari 17 penulis dengan judul yang sama.

Dalam rangka memperingati hari ulang tahun Republik Indonesia ke-67, tema foto yang ditampilkan mengangkat tema kemerdekaan. Para fotografer diberi kebebasan untuk menangkap makna sebuah kemerdekaan dan tetap menawarkan sebuah pandangan untuk memahami keadaan sekeliling.

Warna-warni kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya ibu kota Jakarta, akhirnya berhasil tercipta. Berbagai citra kehidupan yang tertangkap kamera tersebut harapannya dapat dijadikan sebuah masukan untuk warga Jakarta, sekaligus sentilan bagi para pengambil kebijakan.

"Pameran fotografi Baca Merah Putih ini dilangsungkan sebagai ajang 'membaca Indonesia' melalui karya fotografi. Masyarakat Indonesia dapat memahami momen yang ada dan berkembang di dalam tubuh negeri ini. Yang terpenting semoga pameran ini dapat menyadarkan eksotisme simbolik merah putih sebagai sebuah semangat kehidupan berbangsa dan bertanah air," papar Tomy Faisal, kurator pameran ini.

Salah satu karya sarat akan makna kehidupan adalah Kemarau karya Arik S Wartono. Foto yang dicetak hitam putih ini mempertontonkan sawah yang kering akibat musim kemarau. Arik yang cinta akan proses alam juga menampilkan salah satu foto terbaiknya berjudul Panah-Panah Cahaya. Dalam foto itu terekam secara dramatis cahaya-cahaya yang menembus rimbunnya pepohonan.

Ada pula hasil fotografi jepretan Dwi Fatta yang bertajuk Impianku. Ini adalah sebuah karya fotografi yang mengilustrasikan sebuah angan-angan kesuksesan masa depan. Masih banyak lagi karya-karya fotografi yang bernilai seni tinggi dipamerkan dalam acara ini. Di antara nama-nama fotografer yang turut menyumbangan karyanya ada Akyuwen Ardiles, Ari Santosa, Atmy Yunanda, Ersta Andanitino, Geraeld Wirianata, dan Sihol Sitanggan.ima/R-5

Copy dari Google


> Meramu Foto dan Grafis!





> Meramu Foto dan Grafis!

Selasa, 14 Agustus 2012

Oleh Degina Juvita
Berakhir 12 Agustus lalu, komunitas Jakarta Art Lab berhasil memamerkan karya fotografis “Baca Merah Putih”. Bekerjasama dengan Teater Kail dan Pelangi. Kesempatan ini dimanfaatkan untuk menggelar peluncuran buku antologi puisi, serta pentas seni pertunjukan lainnya.
“Setelah saya menemukan tema membaca potret Indonesia (baca merah putih) sebenarnya sesuatu yang simbolik, dia bisa membaca merahnya darah, merahnya semangat dan lain lain, tentu yang berkaitan ketanah-airan, ”ujar Tomy Faisal Alim, kurator pameran.
Pameran diikuti para fotografer profesional, jurnalis, dosen, hingga mahasiswa. Diakui Tomy sebagai bentuk persamaan hak, yang tidak membedakan profesi maupun posisi fotografer. Disamping itu, karya mereka memiliki perbedaan baik sisi teknik hingga karyanya.
Yang ditampilkan bukan sekedar fotografi, melainkan karya fotografis yang memiliki unsur-unsur grafis seperti tipografi, komposisi, hingga bantuan software. Selain itu, ada pula yang menampilkan karya foto berbentuk instalasi.
Pameran fotografis “Baca Merah Putih” menjadi rangkaian kegiatan HUT Kemerdekaan RI, menampilkan beragam acara;  pentas musik, pembacaan puisi, dan peluncuran buku antalogi “Baca Merah Putih” di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.



Copy dari Google



TRIBUNNEWS.COM - Dalam menikmati suasana Nuzulul Alquran dan memperingati hari Kemerdekaan Republik Indonesia, Teater Kail menggelar Pameran Foto di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki, Jalan Cikini Raya 73 Jakarta Pusat. Kesempatan ini juga mengadakan peluncuran buku antologi puisi "Baca Merah Putih" dari 17 penulis, serta pertunjukan berbagai pentas seni.
Sutarno Sk selaku pimpinan Teater Kail mengatakan baginya mengerjakan pameran foto yang membungkus seni sastra dan seni pertunjukan atau sebaliknya adalah sebuah pekerjaan seni teaternya.
Berangkat dari satu gagasan ke gagasan lainnya, bagaimana mensiasati agar pameran foto ini masih didatangi pengunjung pada saat masyarakat sedang berkonsentrasi untuk berlebaran, maka lahirlah pemikiran melaksanakan tradisi diskusi seni, pentas musik, tari, pembacaan puisi serta peluncuran buku antologi puisi.

Atas dukungan banyak pihak, pada sore hari mendekati menit-menit berbuka puasa, Kamis 9 Agustus 2012, acara pameran foto yang bertajuk "Baca Merah Putih" dibuka oleh Ratna Sarumpaet, selaku seniman senior.
Dalam sambutannya, beliau seperti biasa berbicara apa adanya, bahwa Indonesia berada di tangan generasi muda. "Dari tangan kalianlah maju atau mundurnya negeri kita ini," tegas Ratna Sarumpaet.
Lalu beliau menyempatkan diri menengok pameran foto sambil berbuka puasa, pada bagian foto Mickay Koegh, di mana foto Ratna     Sarumpaet terpampang.
Acara dilanjutkan dengan panduan MC Andrenny Chair dengan pembacaan puisi oleh pembaca cilik Najwa Salsabila, lalu Julien Lanes, Sri Tedjawati Kamarullah, Line Dance Yulieta Chair dan Mike TC, Farid bin Mbah Surip serta lainnya.
Uniknya lagi dimanfaatkan juga suasana kesenian ini dengan merayakan hari ulang tahun mereka yang berbintang Leo, yaitu Tin Pasaribu, Nur Esa Hutabarat, dan George Kamarullah.
Rangkaian pameran foto ini dibuka pukul 10.00 hingga pukul 21.00. Pada Jumat 10 Agustus 2012, pukul 16.30, akan diadakan diskusi foto dan filsafat seni yang dimoderatori oleh Tomy Faisal Alim, dengan pembicara Leonowens SP penulis buku 'best seller' filsafat seni dan sastra "Both Sides In Wisdom," serta Arik S. Wartono dari Sanggar Daun Surabaya.
Liliana 
Sekretaris Panitia Acara Pameran Fotografis Baca Merah Putih
TRIBUNNERS POPULER

Copy Google

Leonowens SP: Seni Untuk Indonesia Lebih Baik


KBRN, Jakarta : Para seniman, sastrawan, dan cendekia mendeklarasikan "Seni Untuk Indonesia Lebih Baik" pada acara "Baca Merah Putih" di Taman Ismail Marzuki,


KBRN, Jakarta : Para seniman, sastrawan, dan cendekia mendeklarasikan "Seni Untuk Indonesia Lebih Baik" pada acara "Baca Merah Putih" di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Sabtu (11/8). Leonowens SP selaku penggagas dan deklarator yang mewakili para seniman, sastrawan, dan cendekia menyatakan bahwa Indonesia membutuhkan peran para seniman dan sastrawan untuk perbaikan serta pemajuan bangsa.
"Para seniman dan sastrawan merupakan kekayaan bangsa yang berharga juga terhormat, karena berkarya tanpa surut dari khazanah kekayaan batin serta intelektualnya." tegas Leonowens SP, Minggu (12/8).
Sebelumnya, acara diisi dengan sesi bedah filsafat seni pada 45 karya fotografi dari 17 fotografer seni oleh filosof Leonowens SP sebagai pembahas utama, Arik S. Wartono sebagai pembicara proses kreatif fotografi, dipandu oleh Tomy F. Alim sebagai moderator.
"Peleburan para seniman dalam acara Baca Merah Putih merupakan upaya untuk mengembangkan sisi lain dari perjalanan seni Indonesia," ujar Tomy F. Alim.
17 Fotografer seni yang karyanya hadir dalam pameran fotografi "Baca Merah Putih" ialah Akyuwen Ardiles, Ersta Andantino, Izharhadi, Ready Hardiyatmoko, Pratika Widiyanto, Tiur Melanda, Lateev Haq, Gerarld Wirianata, Ari Santosa, Arik S. Wartono, Sihol Sitanggang, Mickay Koegh, Tomy Faisal Alim, Zulian Dwi Fatta, Nanda Pratama, Septiawan, Army Yunanda.

Sesi selanjutnya adalah bedah buku puisi serta monolog karya seniwati dan aktris senior, Nani Tandjung. Buku berjudul Bila Cinta Tak Sampai, Saru, dan Corong dibahas oleh Leonowens SP yang juga seorang sastrawan dunia, dipandu oleh Sutarno SK, sutradara senior bidang teater.

"Saya menulis puisi melalui proses yang panjang, dan saya menuliskannya dalam proses kontemplasi yang rumit. Proses kesenian saya muncul dari nilai-nilai keagamaan," terang Nani Tandjung.

Acara diselingi oleh pembacaan beberapa puisi karya Nani Tandjung oleh Rita Matumona (Teater Koma), Retno Budiningsih (Bandar Teater Jakarta), Julien Lanes (Rumah Ngamen), Ersta Andantino (Grup Apresiasi Sastra), Avi (Kotak Humor Indonesia), dan Sastra Kalimalang-Sanggar Matahari sebagai pengisi musik kontemporer. Terlihat hadir dalam acara "Baca Merah Putih" tersebut Dodo Karundeng(kartunis senior), Yose Rizal Manua (sastrawan senior), Ridwan Mahid (Dewan Kesenian Bekasi), Andi Suryadarma (musisi senior), Veronic (Choise Indonesia), Irman Syah (Lingkar Humanis Universal), dan berbagai seniman, sastrawan, praktisi pendidikan, serta masyarakat umum. (WDA/rell/HF)

copy dari Google

Kebebasan Ekspresi Seniman Fotografi




Sunday, 12 August 2012
Teater Kail dan komunitas fotografi menggelar pameran foto bertajuk Baca Merah Putih di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki (TIM).


Beragam karya fotografi dengan ragam konsep yang berbedajadipenghiasdinding ruang pamer dengan berbagai tema yang menandai kebebasan ekspresi dari fotografer.

Seorang laki-laki tampak asyik memainkan sebuah biola di saung tepi hutan. Siluet cahaya menerangi dari balik rimbun pepohonan. Dawai-dawai terus ia mainkan dengan pantulan cahaya yang indah menerpa pepohonan di sekitarnya. Momentum ini didokumentasikan dengan konsep black and white dari foto yang dicetak di atas kanvas. Dawai-dawai Cahaya karya fotografer Arik S Wartono dari Sanggar Daun Surabaya, menjadi salah satu dari puluhan karya menarik fotografer lainnya.

Tak hanya Arik S Wartono, dalam pameran Baca Merah Putih yang digelar 9–12 Agustus 2012 ini, konsep foto-foto lain juga jadi daya tarik tersendiri. Olah digital dari karya Lateef Haq misalnya. Karya ini mencuri perhatian dengan konsep foto yang menarik dan “berbicara”. Ia mengolah hasil jepretannya dari objek kepala lelaki yang penuh dengan serbuk putihdiwajahnya.Lalu,iamenggabungkan kepala-kepalatersebut sedemikian rupa hingga seperti gerakan continous yang melukiskan sebuah pemberontakan atas ide atau barangkali pemberontakan untuk menuju kebebasan yang lebih hakiki atas kehidupan dirinya.

Foto-foto ini ditampilkan dalam tema bertajuk kebebasan. Pameran ini diharapkan bisa menjadi sebuah refleksi atau masukan untuk warga Jakarta keseluruhan dan tentunya para pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan, apa yang saat ini tengah terjadi dalam kegelisahan masyarakatnya.Dengan Baca Merah Putih, setiap fotografer dan penyair diberikan “kebebasan” untuk menangkap makna kemerdekaan itu sendiri dari berbagai sisi.

Baca Merah Putih menawarkan pengertian untuk lebih memperhatikan keadaan sekelilingnya yang merujuk kepada warna-warni negeri tercinta Indonesia, khususnya Jakarta, ibu kota negara.Semuanya hanya ingin memberikan sesuatu yang berguna kepada masyarakat di Jakarta.Minimal,sebagai me-diator dari masyarakatnya ke masyarakatnya. Pilihan untuk memamerkan karya-karya seni foto yang dirangkai ini juga untuk menyampaikan pandangan pribadi dari para fotografer terhadap perkembangan Indonesia.

Pameran dianggap bisa memberikan pandangan lain secara menyeluruh dibandingkan sebuah foto yang berdiri sendiri. Fragmen gambar sosialhingga tragedi kemanusiaan tak lepas diangkat dalam pameran ini.Tak hanya murni fotografi, beberapa karya juga mengonsep karyanya dengan mixmedia lain, seperti karya Ari Santoso berjudul Indonesiaku Sekarat. Karya Ari menggabungkan antara seni fotografi, olah digital., dan patung dalam satu tatanan konsep yang spesial. ● sofian dwi 

Copy dari Google > Harian Seputar Indonesia   (foto dokumentasi Teater Kail)
 

Sabtu, 28 April 2012

Menyentuh Tulang Rusuk

Ya sudahlah, kalau memang isi dunia ini bermacam ragam. Ketika dua himpunan yakni Siang dan Malam akan dibiarkan begitu saja terduduk, mungkin saja akan lebih condong pada kepastian, bahwa akan ada susulan pertanyaan tentang waktu yang lebih otentik, tepatnya kapan dan lain sebagainya.Malam jam berapa, waktu itu terang atau mendung, pukul berapa lewat berapa, dan sebagainya.

Isi dunia memang tidak satu warna, bukan satu bentuk, tak pula mati. Selalu bergerak, saling mempengaruhi, termasuk kekuatan pikiran seseorang mampu menjajah pikiran manusia lain dan dengan berani memajukan hasil-hasil pikiran dan pembuktian-pembuktian yang mendukung pikiran utamanya. Itu pun, tidak mati. Dari sana akan muncul lagi persetujuan yang meyakinkan dengan bukti-bukti pula. Tak kurang, perlawanan yang menolak argumentasi pun bertabrakan.

Seorang Kak Seto tentu juga punya lawan jika berbicara tentang perkembangan jiwa anak. Kubu-kubu saling mempengaruhi dan menolak tentang bagaimana menghadapi anak. Ada pendapat, orang tua harus menjaga ketat anaknya, tetapi ada juga yang membiarkan anak mengembangkan kepribadiannya. Ada yang bersikap halus lembut dan ada juga yang sangat tegas. Kesemuanya tentu akan menghasilkan karakter yang beragam pada anak-anak se-generasi. Persoalannya, sikap yang bagaimanakah yang betul, yang baik yang pantas diberikan kepada anak, agar  terbentuk karakter generasi penerus bangsa yang kuat.

Ayah lebih suka membiarkan anaknya bergerak bebas, akan membiarkan anaknya membongkar apa saja, dan menjadi pengetahuan bagi sang anak. Sedangkan Ibu lebih memilih anak digendong dalam kain gendongan agar tidak berlarian mengacak-acak tombol listrik, tak menghunus pisau dan lainnya. Tentu saja antara Ayah dan Ibu selalu terjadi perdebatan dengan masing-masing argumentasi.

Menurut Ayah, saat anak jatuh dari anak tangga yang tinggi adalah sebuah pelajaran sedangkan menurut Ibu, itu adalah sebuah kecelakaan yang membahayakan. Ayah akan memuji anak yang tercelakakan, Ibu mengutuknya. Ibu hanya mau memuji anak yang kalem, penurut, tidak melawan, Ayah menyayangkan sikap 'apatis' dari anak yang menurut Ibu adalah kesabaran.

Kesalahan yang menurut Ibu adalah sebagai kerugian, buat Ayah kerugian itu memang harus dikeluarkan sebagai modal pengembangan ilmu. Siapakah yang benar jika kita harus menilai?


 Pikiran-pikiran ini datang setelah menyaksikan pertunjukan teater dari beberapa mahasiswa di sebuah kampus. Hal ini sebenarnya juga bukanlah hal yang baru. Kita atau kami, telah beberapa kali menyaksikan hal serupa. Saat bercengkrama bersama seniman tua dan agak tua, kami setuju mengatakan dengan desis, bahwa itu adalah nomer-nomer latihan awal kami dahulu, dan kami tak pernah mengatakan bahwa nomer-nomer itu pernah ksmi tampilkan sebagai nomer pertunjukan juga, layaknya seperti yang baru saja kami tonton. Kami lupa kalau kami pernah melakukan pentas serupa. dan bangga pula pada waktu itu. Kami sebut pentas kami itu adalah hasil Improvisasi. Sebuah pentas dadakan atas undangan panitia acara, entah di mana saja. Itu memang pentas 'latihan pentas'.

Kami berdebat tentang perlunya atau kesia-siaannya sebuah pentas semacam itu. Pentas teater yang mentah, yang setengah matang, yang belum matang benar, yang matang dan matang sekali, bahkan pentas "kematengan" pun dibicarakan di ruang publik tempat angkringan.











Filosofi Cinta Rabi’ah Al Adawiyah di Panggung Teater

Dari :
Situs jafar's (setelah sedikit diralat)

Jakarta, Sinar Harapan
Selama ini kita lebih mengenal sajak-sajak cinta karya Khalil Gibran dan May Ziadah. Padahal, dalam kesusasteraan Indonesia dari abad ke-16, ada nama Hamzah Fansuri dan Rabiah Al Adawiyah yang karyanya tak kalah besar. Di Gedung Kesenian Jakarta, Sabtu (27/12), kumpulan sajak karya Rabiah yang berjudul Love Undererasure (Cinta di Bawah Karet Penghapus) akan dibacakan. 


Diproduksi Teater Kail sutradara Sutarno SK, pementasan akan dilakukan oleh para tokoh dari beragam latar belakang dimensi seni antara lain Dewi Yull, Jajang C. Noer, Ria Irawan, Jose Rizal Manua, Nani Tandjung. Pertunjukan yang disutradarai oleh Sutarno SK ini juga akan didukung oleh para seniman yang dikenal cukup intens yaitu mulai dari Ratih Sanggarwati sebagai costum advisor,  Tommy F. Alim sebagai penata artistik dan Burung Hud-hud.  Remmy Novaris DM dan Nuruddin Asyhadie sebagai penyusun naskah dan Hamzah Fansuri, Istiadi SE, Irmansyah serta H, Dwi Bagus MB


Love Underasure berkisah tentang cinta yang terhapus dan menghapus. Latar dari kalimat sederhana tetapi dalam ketika mengedepankan fakta bahwa cinta sering melukai manusia, membuat patah hati, bahkan membunuh kekasihnya atau keluarga yang sedarah dengannya maupun kekerasan antarkomunal. Bahkan, atas nama cinta terhadap nilai yang dijunjung tinggi baik berupa agama atau Tuhan, manusia bahkan bisa saling berperang, meledakkan bom dan melakukan genocide.


Dalam kumpulan sajak ini, dipertanyakan kembali apa makna dari cinta, lewat penelusuran kembali cinta yang ada di syair seorang Hamzah Fansuri, penyair dari Barus yang memperkenalkan bentuk pantun pertama dalam kesusastraan Melayu, dan Rabiah Al Adawiyah, perempuan suci dari Basrah yang amat terkenal dalam khasanah sufistik.

Dikemas Naratif
Dalam pemanggungan, tetap menggunakan performance poetry, sajak-sajak ini memang tak hanya digelar dalam bentuk pembacaan saja, tetapi juga dikemas dalam narasi pengembaraan ulang-alik ruang dan waktu.


Kisahnya, seorang presenter Love Love Love, sebuah program talk show di Love TV, mendapat kiriman e-mail Test Kepribadian Dalai Lama dari temannya. Tes tersebut menjanjikan bahwa dalam 96 jam, mantra akan keluar dari tangannya, dan sebuah keajaiban pun akan terjadi dalam kehidupannya, jika hal itu dapat dilaksanakan dengan benar. Ni Rina yang mulanya tak percaya, iseng juga untuk mengisinya.


Maka, setelah melakukan itu, keajaiban pun terjadi. Di hari favoritnya itu, Tuhan akhirnya mengirimkan Hamzah Fansuri kepadanya untuk memberikan sebuah karet penghapus, benda yang sebelumnya telah dihadiahkan oleh Rabi’ah kepada Hamzah. Namun, Hamzah tak juga dapat memikirkan rahasia di baliknya. Sebab, ia tak tahu benda apakah itu gerangan.
Dari pertemuan itu, dari masuknya Hamzah ke dunia sekarang yang hiruk-pikuk, serta merunut bagaimana segala keajaiban itu dapat terjadi; kegelisahan spiritual Hamzah, pertemuannya dengan Hud-Hud yang membawanya menemui Rabi’ah dan peristiwa ketika ia sedang memikirkan hakikat karet penghapus itu hingga terlelap. Dalam lelap itu, ia mendengar suara Tuhan untuk menemui sang presenter dan memberikan benda itu kepadanya, maka akhirnya keduanya sadar bahwa selama ini manusia tak pernah mencintai apa pun selain dirinya sendiri. Cinta mereka dipenuhi hasrat-hasrat kekuasaan dan narsisisme. dalam ekstase akhirnya ditemukan pencerahan berupa lenyapnya keinginan untuk menguasai dan memiliki objek yang dicintai, bukan dalam struktur yang menyisakan keakuan, tapi implikasi dari totalitarianisme, yaitu berupa ketiadaan. Sebab, hakikat diri sebenarnya juga adalah ketiadaan. (srs)