Beberapa pilihan judul untuk sebuah judul dan tema sarasehan yang rencananya akan diadakan oleh Road Teater, dalam rangka mengingat kehadiran Kelompok ini di kancah teater Indonesia'
Menjadi serius ketika kata 'POLITIK' rencananya dihadirkan dalam kalimat. Nyaris terjadi kesalahpahaman antara yang hadir dalam diskusi tersebut. Dalam wajah yang beku dan memancarkan sedih, yang hadir semakin menciut. Diskusi dilanjutkan dengan suara merendah.
Mungkin Penggagas tidak bermaksud membawa teater ke wilayah politik, tetapi ada yang sudah punya prasangka ke sana. Sementara Penggagas mempertegas penolakan prasangka. Penggagas ingin membicarakan tentang kehadiran unsur politik dalam kegiatan kesenian, baik secara kepribadian, kebangsaan bahkan pergolakan kesenian di manca negara sejak dahulu kalanya.
Pada tanggal 14 Juli, dalam rangka ulang tahun Teater Mandiri, Dewan Kesenian Jakarta mengadakan penghormatan kepada Grup Teater yang telah berusia 40 tahun, 1971 - 2011, dengan mendukung Workshop dari Teater Mandiri dan sarasehan tentahng Teater Mandiri dan persiapan Pentas ADUH nya, dengan mengundang pakar teater masa kekinian, seperti Halim Hade, Benny Johanes dan Afrizal Malna.
Halim dalam makalahnya yang dibagikan kepada yang hadir, mengutarakan perasaannya bagaimana dia berkali-kali menonton ADUH oleh berbagai kelompok teater dengan segala persepsinya, khususnya di tahun-tahun 1974- 1980
Benjon, yang memulai bicaranya dengan membacakan puisinya yang menyatakan siapa Lelaki yang selalu Bertopi, bahkan membawa slide, mengurai tentang teater, Mandiri, Putu wijaya, Naskah Teaternya, dan pementasan. Sebagai Dosen atau Guru, dia memasukkan istilah-istilah keguruan, kemampuan berpikir dan sebagainya dalam paparannya.
Afrizal Malna, yang dengan rendah hati, bahagia telah bisa duduk bersama dengan Putu Wijaya yang dikaguminya di tahun 1975an saat dia masih jadi siswa SMA.
Terkait dengan alinea paling awalan, Afrizal memapresentasikan hubungan kesenian teater Putu Wijaya dengan perpolitikan. Mengurai pergolakan politik, sehingga membentuk pergolakan jiwa yang diekspresikan ke media seni.
Akhirnya saya melihat apa yang dimaksud Penggagas yakni teman-teman dari Road Teater dengan maksudnya. Saya juga sempat membaca bagaimana Musikus Jerman di masa Hitler, menciptakan musik penyemangat tentaranya, Chairil Anwar dengan penyemangatan di jaman penjajahan di Indonesia, Bung Karno dengan toneel-toneelnya.
Sementara ini dulu catatan saya.
Jatinegara, Sabtu 16 Juli 2011
Nani Tandjung
Menjadi serius ketika kata 'POLITIK' rencananya dihadirkan dalam kalimat. Nyaris terjadi kesalahpahaman antara yang hadir dalam diskusi tersebut. Dalam wajah yang beku dan memancarkan sedih, yang hadir semakin menciut. Diskusi dilanjutkan dengan suara merendah.
Mungkin Penggagas tidak bermaksud membawa teater ke wilayah politik, tetapi ada yang sudah punya prasangka ke sana. Sementara Penggagas mempertegas penolakan prasangka. Penggagas ingin membicarakan tentang kehadiran unsur politik dalam kegiatan kesenian, baik secara kepribadian, kebangsaan bahkan pergolakan kesenian di manca negara sejak dahulu kalanya.
Pada tanggal 14 Juli, dalam rangka ulang tahun Teater Mandiri, Dewan Kesenian Jakarta mengadakan penghormatan kepada Grup Teater yang telah berusia 40 tahun, 1971 - 2011, dengan mendukung Workshop dari Teater Mandiri dan sarasehan tentahng Teater Mandiri dan persiapan Pentas ADUH nya, dengan mengundang pakar teater masa kekinian, seperti Halim Hade, Benny Johanes dan Afrizal Malna.
Halim dalam makalahnya yang dibagikan kepada yang hadir, mengutarakan perasaannya bagaimana dia berkali-kali menonton ADUH oleh berbagai kelompok teater dengan segala persepsinya, khususnya di tahun-tahun 1974- 1980
Benjon, yang memulai bicaranya dengan membacakan puisinya yang menyatakan siapa Lelaki yang selalu Bertopi, bahkan membawa slide, mengurai tentang teater, Mandiri, Putu wijaya, Naskah Teaternya, dan pementasan. Sebagai Dosen atau Guru, dia memasukkan istilah-istilah keguruan, kemampuan berpikir dan sebagainya dalam paparannya.
Afrizal Malna, yang dengan rendah hati, bahagia telah bisa duduk bersama dengan Putu Wijaya yang dikaguminya di tahun 1975an saat dia masih jadi siswa SMA.
Terkait dengan alinea paling awalan, Afrizal memapresentasikan hubungan kesenian teater Putu Wijaya dengan perpolitikan. Mengurai pergolakan politik, sehingga membentuk pergolakan jiwa yang diekspresikan ke media seni.
Akhirnya saya melihat apa yang dimaksud Penggagas yakni teman-teman dari Road Teater dengan maksudnya. Saya juga sempat membaca bagaimana Musikus Jerman di masa Hitler, menciptakan musik penyemangat tentaranya, Chairil Anwar dengan penyemangatan di jaman penjajahan di Indonesia, Bung Karno dengan toneel-toneelnya.
Sementara ini dulu catatan saya.
Jatinegara, Sabtu 16 Juli 2011
Nani Tandjung